Skandal Century, Boediono, dan KPK yang Gamang
“Bank Century itu sederhana. Untuk selamatkan bank, yang penting bayar dana pihak ketiga. Dalam kasus Century, dana pihak ketiganya kurang dari Rp2 triliun. Tapi ini aneh, kok di-bail out Rp6,7 triliun, lebih dari tiga kali lipat. Ini jelas kejahatan. Masak KPK gitu aja kaga ngarti!” tukasnya.
Rizal Ramli memang sudah lama geram dengan penyelesaian skandal Bank Century yang berlarut-larut dan jalan di tempat. Bukan hanya dia, banyak pihak lain juga merasa KPK tidak serius menuntaskan kasus yang meledak sejak 2008. Sebagian pihak bahkan menduga mandulnya KPK dalam kasus ini karena lembaga antirasuah tersebut bekerja sesuai pesanan penguasa saat itu.
“Di Amerika, Preisden Nixon tidak melakukan kejahatan. Yang dia lakukan adalah berusaha menutupi kejahatan pihak lain. Itulah sebabnya dia di-impeach. Kalau KPK menghalangi-halangi meneruskan pemeriksaan skandal Century, saya setuju KPK harus di-impeach juga. Tapi bagaimana caranya, ya?” ujarnya lagi.
Kopeg dan berbohong
Kasus Bank Century kembali menyeruak ke permukaan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 10 April silam memerintahkan KPK menetapkan sejumlah tersangka baru pada kasus Bank Century, antara lain mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono.
Boediono sendiri keukeuh berpendapat, bahwa tindakannya menyelamatkan Bank Century adalah suatu keharusan. Sebab kalau tidak, lanjut dia, Indonesia akan kembali terjerembab pada kubangan krisis dahsyat bak 1998 silam. Dia berpendapat saat itu situasinya nyaris persis sama dengan tahun 1997. Ada krisis likuiditas di perbankan karena uang mengalir keluar. Sementara itu, PUAB macet karena mereka tidak saling percaya.
Kalau ada pejabat yang, maaf, kopeg alias keras kepala, mungkin Boediono adalah salah satunya. Agak mengherankan, memang, bagaimana mungkin seorang profesor ekonomi yang sudah lebih dari sekitar 40 tahun bergelut di tataran kebijakan ekonomi negeri ini, kok tetap saja ngeyel bahwa Bank Century punya dampak sistemik. Padahal penjelasan yang disampaikan berbagai pihak sebelumnya, bak melantunkan koor, bahwa Century teramat kecil untuk mampu memberi dampak sistemik pada sistem perbankan nasional. Kontribusinya cuma 0,4% di pasar uang antar bank (PUAB) alias Interbank Call Money Market.
Menurut Boediono, Oktober-November 2008 rata-rata aliran modal keluar mencapai US$3 miliar dollar. Penyebabnya, antara lain karena Indonesia tidak menerapkan blanket guarantees seperti di Singapura dan Malaysia.
Boediono jelas berbohong. Siapa pun tahu, pada Oktober-November 2008 tidak ada gejolak, apalagi sampai seperti tahun 1997, awal terjadinya krisis moneter. Tidak ada secuil pun bukti yang membenarkan pernyataan itu.
Oke, katakanlah kalau situasinya memang gawat seperti tahun 1997. Maka yang harus ditempuh bukanlah berkali-kali menggerojok bank kecil Century dengan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP). Tapi, pada konteks Century, tetap saja bank ini terlalu kecil untuk menimbulkan riak, apalagi gelombang, dalam sistem perbankan kita. Aduh, Pak Boed, teganya dikau membohongi publik dengan data dan argumen ngawur bin ngeyel-mu itu…
‘Ember bocor’
Bank Century memang sudah busuk, sudah rusak sejak awal. Bahkan bank yang dikomandani Robert Tantular tersebut sudah bermasalah sebelum terjadi merger Bank Piko, Bank Danpac, dan Bank CIC menjadi Century. Seharusnya pemerintah menutup sejak awal. Dengan ukuran yang liliput seperti itu, jika ditutup sama sekali tidak akan ada efeknya bagi sistem perbankan nasional. Itulah sebabnya Rizal Ramli menilai Bank Century ini memang sengaja mau dipakai sebagai ‘ember bocor’.
‘Ember bocor’ yang dimaksudkannya adalah istilah lain dari upaya membobol bank untuk keperluan tertentu. Dalam konteks Bank Century, uang bail out itu mengalir untuk keperluan partai politik tertentu. Langkah itu bisa didendus dengan tidak lazimnya jumlah dana untuk mem-bail out yang mencapai Rp6,7 triliun. Padahal dana pihak ketiganya hanya sekitar Rp2 triliun.
RR tidak keliru. Berdasarkan pemeriksaan saksi-saksi, terungkap penetapan Bank Century sebagai bank berdampak sistemik memang bermasalah. Sebetulnya BI pernah membuat matriks hasil kajian terhadap Bank Century. Rencananya, matriks tersebut akan dilampirkan dalam surat permohonan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang ditujukan kepada Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani. Namun, lantaran matriks tidak menyebutkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, maka matriks tersebut dicopot dari lampiran.
di Pengadilan, Halim Alamsyah yang ketika itu menjadi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) bersaksi, dia pernah diperintah membuat analisis dampak sistemik dari Bank Century dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, 13 November 2008. Hasil analisisnya, Bank Century tidak berdampak sistemik. Ukuran Bank Century dan perannya dalam pemberian kredit pun relatif kecil. Begitu juga dengan keterikatan sektor riil. Singkat kata, secara keseluruhan menunjukkan Bank Century kecil.
Tapi Boediono seperti kalap. Dia tetap bertekad menggerojok Century dengan duit triliunan rupiah. Padahal, sejak awal sudah disodori berbagai dokumen yang menunjukkan bank itu sama sekali tidak layak memperoleh FPJP. Namun BI terus saja mengguyur FPJP, walau Bank Century belum memenuhi beberapa dokumen terkait jaminan aset kredit yang diagunkan ke BI sebagai syarat mendapatkan FPJP.
Padahal, sejak 14 November 2008 sampai 18 November 2008, telah dicairkan FPJP tahap pertama sebesar Rp 502 miliar. Jumlah itu masih ditambah lagi dengan FPJP tahap II sebesar Rp187,3 miliar. Dengan demikian, total FPJP tahap I dan II sebesar Rp 689,3 miliar. Padahal, lagi-lagi, persyaratan perihal agunan aset kredit untuk FPJP tahap I belum dipenuhi.
Audit Internal BI mengaku sudah bergerak begitu mengetahui adanya kejanggalan tersebut. Namun, menurut saksi Wahyu yang saat itu menjabat sebagai Direktur Audit Internal BI, ia malah dimarahi Gubernur BI Boediono ketika melaporkan kejanggalan tersebut.
Dengan rentetan fakta seperti itu, sulit mengelak bahwa telah terjadi perampokan uang negara melalui bail out Century. Pertanyaannya, kok bisa tindakan kriminal tadi terjadi di depan hidung para pemegang otoritas moneter? Apakah karena di sana ada Boediono yang sangat patut diduga menjadi mind master-nya?
Lalu, untuk apa Rp6,7 triliun bagi seorang, yang sepertinya, kalem dan santun seperti dia? Apakah dia bekerja untuk kepentingan Parpol tertentu? Maklum, waktu itu memang menjelang Pemilu dan Pilpres 2009. Inikah yang kemudian disebut Rizal Ramli sebagai gratifikasi jabatan? Faktanya, secara mengejutkan, tiba-tiba SBY menggandeng Boediono sebagai Capresnya pada laga Pilpres 2009.
Di usia yang sudah teramat senja, publik berharap Boediono mau mengakhiri perjalannya dengan husnul khotimah, dengan akhir yang baik. Dia pasti paham benar, bahwa jabatan, kedudukan, harta, dan sebagainya pada saatnya akan selesai juga. Tidak secuil pun yang akan dibawa menghadap Yang Maha Kuasa. Jadi, ayolah, pak Boed. Bersikaplah kesatria! (*)
Jakarta, 18 April 2018
Edy Mulyadi
Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)