OPINI

SMA Unggulan Garuda vs Sekolah Rakyat, Pendidikan Makin Diskriminatif?

Memasukkan guru asing dalam sistem pendidikan kita juga tak menutup kemungkinan jika keberadaan guru asing ini menjadi ancaman bagi generasi bangsa. Adanya transfer budaya, gaya hidup, dan pemikiran liberal ala Barat jelas perlu menjadi perhatian dan kewaspadaan kita, meskipun dengan dalih untuk memberikan wawasan yang lebih luas bagi peserta didik. Mengingat, latar belakang budaya Indonesia yang masih menjadikan norma agama dan adat ketimuran sebagai pegangan.

Adanya jalur penerimaan pada SMA Unggulan Garuda juga berpotensi membuka pintu kecurangan dan rasuah. Demi gengsi, orang tua dapat mengeluarkan uang lewat jalur belakang agar anaknya dapat diterima di sekolah unggulan ini. Latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda juga dapat menciptakan kesenjangan dalam pergaulan sehingga menimbulkan bahaya kelas.

Sementara itu, penamaan “Sekolah Rakyat” yang diperuntukkan untuk anak miskin ini juga dapat menimbulkan stigmatisasi terhadap siswa yang belajar di sekolah ini. Label “siswa kelas dua” dikhawatirkan akan muncul dan dianggap tidaklah sebaik para siswa di sekolah unggulan. Label dan stigma ini dapat memengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademik siswa, belum lagi persepsi masyarakat terhadap mereka. Stigma ini pun berpotensi makin memarjinalkan kelompok anak miskin yang keadaannya memang sudah rentan.

Konsep Sekolah Rakyat yang belum matang juga menimbulkan kekhawatiran. Mau dibawa ke mana generasi kita yang digadang-gadang menjadi agen perubahan ini. Selain itu, hingga hari ini sumber pembiayaan pembangunan Sekolah Rakyat ataupun Sekolah Unggulan Garuda juga belum diungkapkan oleh pemerintah. Jangan sampai rakyat lagi yang kena getahnya, yakni dengan menaikkan pajak.

Inilah buah getir pendidikan yang dibangun dalam naungan sistem kapitalisme sekuler. Diskriminasi pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Sebab, negara bukan berperan sebagai pelayan bagi rakyat, melainkan sebagai regulator bagi pemilik modal. Tidak heran, jika kebijakan dan regulasi pendidikan mayoritas berpihak kepada si kaya saja. Padahal, menjadi kewajiban negara menciptakan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat.

Sekolah unggulan seharusnya dapat diakses secara merata oleh seluruh rakyat dan di seluruh wilayah, tanpa terkotak-kotak dengan seabrek perbedaan. Alhasil, pendidikan tanpa diskriminasi mustahil terwujud andai sistem kapitalisme terus bercokol di atas negeri ini. Pendidikan yang merata niscaya hanya terwujud dalam naungan sistem Islam.

Paradigma Islam memandang bahwa negara merupakan pengurus urusan rakyat. Oleh karena itu, menjadi kewajiban negara menyelenggarakan sistem pendidikan yang bermutu dan mudah diakses secara merata oleh rakyat. Menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang terbaik dan memadai bagi rakyat di seluruh wilayah, baik di kota maupun di desa, baik di ibu kota maupun di pelosok negeri.

Sistem pendidikan Islam ini diselenggarakan dalam koridor syarak, baik tujuan maupun kurikulum pendidikannya. Sehingga terwujud tujuan pendidikan untuk mencetak generasi pemimpin masa depan yang terbaik, yakni generasi yang bertakwa dan kuat kepribadian islaminya, serta generasi yang unggul dalam sains dan teknologi. Sehingga mampu menjadi agen-agen perubahan di tengah umat.

Selain itu, pendidikan sebagai tanggung jawab negara berarti menjadi tanggung jawab negara untuk menutup semua pintu bagi kapitalisasi pendidikan sebagaimana sistem pendidikan hari ini. Sehingga pendidikan tidak hanya merata, tetapi juga berkualitas dan murah bahkan cuma-cuma.

Adapun sumber pembiayaan sistem pendidikan Islam yang mumpuni ini berasal dari Baitulmal yang sumber pemasukannya melimpah. Sumber pemasukan ini antara lain dari pos kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan sumberdaya alam dan dari pos kepemilikan negara seperti jizyah, fai, ganimah, dan kharaj. Sistem pembiayaan ini pun bersifat mutlak, yakni ada atau tidaknya dana di Baitulmal, negara wajib menyelenggarakannya.

Andai terjadi kekosongan dana di Baitulmal sehingga negara tidak mampu menutupi pembiayaan pendidikan, maka negara boleh mengenakan pajak yang bersifat sementara. Pajak ini dikenakan setelah negara telah melakukan berbagai upaya maksimal untuk mengatasi kekosongan dana di Baitulmal. Pajak ini juga dikenakan hanya kepada kaum Muslim yang kaya saja. Jika kekosongan ini telah teratasi, pajak pun dihentikan.

Inilah sistem pendidikan yang niscaya melahirkan generasi unggul. Sebab, pendidikan dikecap secara merata oleh seluruh rakyat. Inilah sistem yang lahir dari akidah Islam yang sahih dan mulia yang niscaya akan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, andai diterapkan secara komprehensif dalam bingkai negara. Sungguh sangat berbeda dengan sistem pendidikan dalam naungan kapitalisme yang hanya menciptakan diskriminatif dan kesenjangan pendidikan yang kian memburuk. Wallahu’Alam bissawab. []

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button