QUR'AN-HADITS

Solusi Qur’ani untuk Mengatasi Cyberbullying

Era digital telah merevolusi cara manusia berinteraksi, namun perubahan ini tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas etika komunikasi. Di tengah derasnya arus informasi dan ekspresi di media sosial, muncul fenomena cyberbullying, bentuk kekerasan psikologis yang dilakukan melalui dunia maya.

Cyberbullying adalah bentuk modern dari penghinaan, cemoohan, dan pemberian label buruk yang ditegur keras dalam ayat ini. Dengan berkembangnya media sosial, ejekan tak lagi hanya verbal, tapi juga tersebar melalui komentar, meme, atau unggahan yang menyudutkan seseorang.

Ayat ini merepresentasikan prinsip etik komunikasi Islam yang menghormati harkat martabat manusia. Praktik body shaming, penyebaran aib, atau penggunaan istilah merendahkan seperti “cupu”, “alay”, atau “sobat miskin” dalam dunia digital merupakan pelanggaran langsung terhadap etika Qur’ani yang tertuang dalam ayat ini.

Perundungan digital ini mencakup penghinaan, pelecehan, penyematan label buruk, hingga pembunuhan karakter, yang tak jarang berdampak serius pada kesehatan mental bahkan kehidupan korban. Ironisnya, pelaku cyberbullying seringkali berasal dari kelompok yang mengaku beriman, namun abai terhadap nilai-nilai moral yang diajarkan agamanya.

Realitas ini menuntut solusi yang tidak sekadar normatif, melainkan juga transformatif dan berbasis nilai. Di sinilah Islam menawarkan kerangka etik yang kokoh melalui Al-Qur’an, sebagai sumber hukum, akhlak, dan petunjuk hidup. Surah Al-Ḥujurāt [49]: 11 tampil sebagai panduan yang sangat relevan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok); dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan jangan saling memanggil dengan gelar-gelar buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 11)

Ayat ini bukan hanya melarang tindakan mencemooh dan memberi gelar buruk, tetapi juga menegaskan bahwa merendahkan orang lain adalah bentuk kezaliman yang mencederai iman.

Dalam konteks komunikasi digital, ayat ini memberikan solusi Qur’ani yang konkret dalam mengatasi cyberbullying melalui prinsip penghormatan martabat manusia. Namun, untuk memahami kedalaman pesan tersebut, kita perlu menelusuri asbābun nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat) yang menyertainya.

Dengan menggali konteks historis, penafsiran para mufassir klasik, serta merumuskan pelajaran yang dapat diterapkan dalam era digital, kita dapat melihat bahwa ayat ini bukan sekadar teguran personal, melainkan fondasi sosial untuk membangun budaya komunikasi yang beradab dan berkeadilan.

Maka artikel ini hadir untuk menelaah ayat Al-Ḥujurāt [49]:11 secara mendalam, melalui pendekatan tafsir tematik dan refleksi sosial-kultural, guna menawarkan narasi alternatif yang Qur’ani untuk menanggulangi cyberbullying. Sebuah kontribusi pemikiran yang tidak hanya merujuk pada masa lalu, tetapi menjawab kebutuhan mendesak umat hari ini: membangun peradaban digital yang etis, empatik, dan bermartabat.

Menurut riwayat dalam Tafsīr al-Ṭabarī (Jāmi‘al-Bayān, Jilid 23, Cet. Dār al-Fikr), ayat ini turun berkenaan dengan insiden ketika sebagian sahabat Nabi menghina sahabat lainnya karena latar belakang dan status sosial.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button