Solusi Qur’ani untuk Mengatasi Cyberbullying

Diriwayatkan bahwa Tsabit bin Qais yang merasa rendah diri karena suara kerasnya ditegur oleh Nabi, lalu beberapa sahabat lain ikut mengejek. Sebagian mufassir menyebut bahwa kejadian ini menjadi konteks turunnya peringatan tentang larangan merendahkan sesama. Kisah turunnya ayat ini;
a. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa suatu ayat diturunkan terkait Tsabit bin Qais bin Syamas yang mengalami gangguan pendengaran. Para sahabat biasa memberikan tempat duduk di dekat Nabi Saw agar ia bisa mendengar dengan jelas. Suatu hari, Tsabit datang saat shalat Shubuh telah berlangsung satu rakaat. Setelah shalat, para sahabat segera menempati tempat duduk di majlis Nabi Saw tanpa memberi ruang bagi yang lain, sehingga beberapa orang terpaksa berdiri. Setelah menyelesaikan shalat, Tsabit melangkahi leher-leher orang untuk mendekat, seraya berkata, “Lapangkanlah.” Orang-orang pun memberinya ruang hingga ia hampir sampai ke Nabi Saw, tetapi terhalang oleh seseorang. Tsabit kembali berkata, “Lapangkanlah,” namun orang itu menjawab bahwa ia telah menemukan tempat duduk dan diminta duduk di situ saja. Tsabit kesal dan bertanya siapa orang itu. Ketika dijawab bahwa ia anak dari seorang perempuan tertentu, Tsabit menyindir dengan menyebut status sosial ibunya di masa jahiliah. Orang itu pun merasa malu, lalu turunlah ayat tersebut.
b. Adh-Dhahhak menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan utusan Bani Tamim yang merendahkan sahabat-sahabat miskin seperti Ammar, Khabab, Ibnu Fahirah, Bilal, Shuhaib, Salman, Salim (budak Abu Hudzaifah), dan lainnya. Mereka mengejek para sahabat tersebut, sehingga turunlah ayat ini sebagai teguran kepada orang-orang beriman agar tidak meremehkan sesama. Mujahid menjelaskan bahwa olok-olok tersebut merupakan bentuk penghinaan orang kaya terhadap orang miskin. Ibnu Zaid menegaskan agar tidak mengolok orang yang dosanya ditutupi Allah, karena bisa jadi orang yang tampak berdosa di dunia justru lebih baik di akhirat.
c. Menurut salah satu pendapat, ayat ini diturunkan terkait Ikrimah bin Abu Jahl yang telah masuk Islam dan tiba di Madinah. Saat kaum muslim melihatnya, mereka berkata, “Dia anak Fir‘aun umat ini.” Ikrimah pun mengadu kepada Rasulullah Saw, lalu turunlah ayat ini.
Secara umum, tidak sepantasnya seseorang mengolok-olok orang lain yang terlihat kurang mampu, cacat fisik, atau lemah dalam komunikasi. Boleh jadi orang tersebut lebih tulus dan suci hatinya di sisi Allah. Menghina orang yang dimuliakan Allah berarti merendahkan diri sendiri dan menentang kehendak-Nya.
Para sahabat sangat menjaga diri dari perbuatan semacam ini. Amru bin Syurahbil berkata, “Jika aku menertawakan orang yang menyusui anjing, aku khawatir akan melakukan hal serupa.” Abdullah bin Mas‘ud meriwayatkan bahwa ejekan bisa membawa akibat serius, bahkan seseorang bisa berubah karena ucapannya.
- Tafsīr al-Qurṭubī:
Al-Qurṭubī menegaskan bahwa larangan mencela dan memberi gelar buruk berlaku universal, baik terhadap laki-laki maupun terhadap perempuan. Menurutnya, ayat ini adalah prinsip moral Islam yang memagari martabat manusia.
Ia menyebutkan bahwa mengejek orang lain atas dasar keturunan, warna kulit, atau kekurangan fisik adalah bentuk fāsiq (dosa besar) setelah seseorang beriman (Tafsīr al-Qurṭubī, Juz 17, Cet. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
- Tafsīr Ibn ‘Āsyūr:
Dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Ibn ‘Āsyūr menafsirkan bahwa struktur kalimat dalam ayat ini menunjukkan larangan yang mendesak, karena menyangkut kehormatan individu dan kohesi sosial. Menurutnya, gelar buruk seperti “fasik”, “munafik”, atau “bodoh” yang dijadikan ejekan, meski dalam konteks bercanda, menciptakan luka sosial yang mendalam dan berlawanan dengan nilai-nilai ukhuwah islamiyah.
Dari sebab nuzul dan penafsiran yang telah dikaji, terlihat jelas bahwa QS. Al-Ḥujurāt:11 tidak hanya relevan secara historis, tetapi juga sangat aplikatif dalam konteks digital saat ini. Ejekan, celaan, dan pemberian label buruk yang dahulu terjadi dalam interaksi fisik, kini menjelma dalam bentuk komentar negatif, meme penghinaan, hingga doxing di dunia maya.
Cyberbullying bukan hanya melukai secara psikologis, tapi juga menggerus nilai-nilai kolektif masyarakat. Surah Al-Ḥujurāt ayat 11 hadir sebagai solusi Qur’ani yang sangat relevan dan visioner. Dengan menjunjung tinggi kehormatan, mencegah ejekan, dan melarang gelar-gelar merendahkan, Al-Qur’an memberikan kerangka etis yang bukan hanya bisa diterapkan dalam interaksi langsung, tetapi juga dalam dunia virtual.
Sudah saatnya umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai etika komunikasi digital. Tidak cukup hanya membentengi diri dari dampak buruk internet, kita perlu membangun ekosistem digital yang Qur’ani, berbasis kasih sayang, penguatan, dan saling menghargai. Dalam dunia maya yang serba cepat dan bebas, nilai-nilai dari Surah Al-Ḥujurāt [49]:11 menjadi kompas moral yang tak tergantikan.[]
Annisa Rahmawati, Mahasiswi Universitas PTIQ Jakarta.