Spesial Kemerdekaan: Jejak Sejarah Indonesia dan Mesir
Peradaban Islam tak bisa dilepaskan dari keberadaan Mesir. Negeri ini memiliki sejarah kuno yang panjang. Jejak kejayaan pada masa Firaun masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Kaum muslimin berhasil menaklukkan Mesir, saat berada di bawah dominasi Koptik dan kontrol Romawi, di bawah komando panglima perang, Amru bin Al-Ash pada 20 H, setelah membebaskan Baitul Maqdis dari kekuasaan despotik Romawi. Amru bin Ash membangun kota Fusthat dengan Masjid Amru sebagai simbol kemenangan Islam di Mesir.
Negeri ini begitu berkesan bagi Rasulullah shallalahu alahi wa sallam, hingga beliau pernah bersabda, “Jika kalian berhasil membebaskan Mesir, maka berbuat baiklah kepada orang-orang Qibthi, karena di sana ada jaminan dan keramahan buat kalian.” Yang dimaksud, keramahan menunjuk pada ibunda Nabi Ismail, Siti Hajar yang berasal dari Mesir. Dalam hadist lain, disebutkan dengan kata “jaminan dan persaudaraan”, yang menunjuk pada istri Rasulullah bernama Maria Al Qibthiyah, yang dihadiahkan Raja Muqawqis kepada Rasululloh.
Sejak itulah, Mesir berada dalam kekuasan Islam dan silih berganti kontrol kekuasan dari Dinasti Umayyah hingga Turki Usmani. Pada era Fathimiyah, kota Kairo dibangun oleh Panglima Jauhar As-Shaqili di Mesir yang menjelma menjadi pusat intelektual bersaing dengan dinasti Islam lainnya, yakni Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba sebagai pusat pemerintahan Dinasti Umayyah II di Spanyol. Mesir sangat strategis dalam peta ‘hegemoni’ penguasa global pada masa lalu hingga saat ini, karena menjadi salah satu kunci terpenting untuk menguasai Yerusalem, sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Kaisar-kaisar Romawi, Persia, Yunani, Alexander The Great dari Macedonia, hingga Salahuddin Al-Ayyubi.
Mesir juga memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia. Tak sekadar mayoritas penduduknya yang sama-sama beragama Islam, Mesir adalah negara pertama yang mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia, secara de facto maupun de jure. Hubungan Mesir dengan Indonesia semakin erat ketika Bung Karno menginisiasi gerakan Non-Blok dan Konferensi Asia-Afrika, yang menggalang kekuatan dunia ketiga di Asia-Afrika untuk bersama-sama menghalau potensi perang dunia ketiga antara blok barat (Amerika) dengan blok timur (Uni Soviet). Saat itu, Gamal Abdul Naser, Presiden Mesir memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soekarno. Bahkan, sosok Bung Karno begitu dikenal masyarakat Mesir dengan peci hitamnya. Maka, siapa pun yang mengenakan peci hitam dikenali orang Mesir sebagai orang Indonesia. Dan nama Presiden Soekarno diabadikan menjadi nama jalan di distrik Sayeda Zainab di Down Town kota Cairo.
Hubungan Indonesia dengan Mesir, sesungguhnya sudah terjalin lama sejak abad ke-17. Karena itulah, Mesir selalu menyebut Indonesia sebagai saudara. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh intelektualisme Mesir terhadap tokoh-tokoh pergerakan Islam di Indonesia. Banyak ulama Indonesia yang terinspirasi dengan pemikiran Jamaludin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, M. Natsir, Buya Hamka. Selain itu tokoh pergerakan nasionalisme Islam di Mesir seperti Sa’ad Zaglul, Abdurrahman Azzam dan Hasan Al-Banna banyak membantu perjuangan diplomasi delegasi RI yang dipimpin oleh Haji Agus Salim untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari Mesir dan negara-negara Liga Arab seperti Palestina, Arab Saudi, Aljazair dsb.
Banyak juga tokoh pergerakan di Indonesia yang belajar di Mesir, contohnya, Prof. Abdul Kahar Muzakir. Tokoh Muhammadiyah ini adalah lulusan dari Darul Ulum Universitas Kairo. Beliau mendirikan Perhimpunan Indonesia Raya, untuk memperkenalkan Indonesia di kancah dunia, demi mendapat pengakuan kemerdekaan Indonesia dari dunia Internasional. Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini, juga menjadi salah seorang yang menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 bersama Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Selain itu ada Prof. Dr. HM. Rasjidi jebolan Al-Azhar dan Universitas Cairo yang menjadi anggota delegasi yang dipimpin H. Agus Salim, bersama dengan AR. Baswedan dan Nazir St. Pamuncak. Jaringan yang luas yang dimiliki oleh Prof. Kahar dan Prof. Rasjidi di Mesir inilah yang mengantarkan lahirnya pengakuan kedaulatan RI di dunia Internasional yang dimulai dari Negara Mesir.
Sebelum Indonesia merdeka, menurut Duta Besar Indonesia untuk Mesir, H.E. Helmy Fauzi, dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian”, hubungan Indonesia dan Mesir dalam bidang pendidikan sudah terjalin lama. Di kampus tertua, Universitas Al Azhar, ada sebuah ruang khusus bernama ‘Ruwaq Jawi’ peninggalan Jamiyyah Khairiyyah Lith-Tholabatil Azhariyatil Jawiyah, sebuah wadah yang mempersatukan para pemuda Indonesia yang menuntut ilmu di Mesir yang didirikan pada tahun 1923.
Kelompok pemuda Indonesia di Mesir ikut berjuang melawan penjajah Belanda, dengan menggalang kekuatan dengan berbagai kalangan dan organisasi, seperti organisasi Liga Arab, Ikhwanul Muslimin, Organisasi Syubbanul Muslimin, dan Serikat Buruh. Lobi-lobi mereka menunjukan keberhasilannya ditandai antara lain dengan kerja keras Sekjen Liga Arab saat itu, Dr Abdurrahman Azzam Pasha, yang terus membicarakan masalah Indonesia dengan sejumlah pejabat tinggi Mesir, hingga keluarlah pengakuan resmi Mesir terhadap Kemerdekaan Indoensia. “Semuanya hasil jerih payah para mahasiswa Indonesia di Mesir,” jelas Dubes Helmy Fauzi. Allahu Akbar.