Stop Keluarga Jadi Tumbal
Di sebuah warung, penjaga warungnya kerja sambil membawa anak, kira kira satu tahun usianya. Anaknya didudukkan di kereta dorong. Namanya juga anak, pasti tak betah duduk diam. Ia minta turun lalu berjalan tertatih menuju meja. Tinggi meja seukuran kepalanya. Jalan masih limbung, belum stabil. Tiba-tiba kening anak terbentur pinggir meja. Anak menangis kesakitan.
Tergopoh gopoh ibunya menghampiri ,”Makanya jangan nakal. Kata ibu juga diam.” Setelah berhenti menangis, anak bergerak lagi. Kali ini menuju tumpukan botol. Ia pegang pipet bekas dalam botol lalu disedotnya. Ibunya masih sibuk layani pelanggan. Begitu menyadari apa yang anaknya lakukan, segera anak digendong. “Ngapain sih, itu pipet kotor. Kata ibu jangan nakal, ga usah main main botol sama pipet.” Anak menangis lagi.
Seorang ibu penjual kue duduk dalam angkutan kota sambil menahan kantuk. Kulit wajah dan tanggannya hitam terkena sinar matahari. Wajahnya berbalut kerudung lusuh yang disapukan mengusap keringat. Tangan keriputnya memeluk keranjang. Matanya berat menahan agar tidak tertidur.
“Habis jualan, capek sekali. Bangun jam dua bikin kue terus keliling dari pagi.” Jawabnya pada seorang penumpang yang bertanya. “Anak saya di kampung sama bapak dan neneknya. Maunya ngumpul. Tapi kalau ikut sama saya, siapa yang jaga. Sekolah disini mahal. Suami cuman kerja garap tanah orang.”
Kita bisa membayangkan betapa lelahnya para ibu perkasa ini. Setibanya di rumah berkutat berbagai urusan domestik. Anak bertingkah bisa langsung mancing amarah. Boro-boro sempat mengajarkan ini itu. Suasana penuh huru hara gara-gara kepala ibu bertanduk dan mulutnya bertaring.
Yang berpisah dengan suami dan anak juga nelangsa. Keluarga ada serasa tiada. Pulang hanya menemui dinding bisu dan sunyi. Rindu mencabik hati harus dilawan. Tak ada tempat curhat untuk berbagi. Semua masalah dipendam sendiri.
Realita ini banyak dialami para ibu terutama di kelas bawah. Umumnya faktor ekonomi pendorong utama untuk bekerja. Harga berbagai kebutuhan dasar kian hari kian melangit. Nafkah suami tak cukup, mereka pasang badan demi dapur ngebul dan secercah harapan.
Kalau diminta memilih, tentu lebih memilih kumpul bersama dengan keluarga. Hati mereka pasti menangis. Terpisah jarak ratusan bahkan hingga ribuan kilometer. Saat rindu mengusik, rasanya tangan ingin segera menggapai belahan jiwa. Tatkala masalah mendera, ingin segera terbang untuk merangkul. Menikmati kehangatan dan belaian. Sedih terbasuh, kecewa luruh, semangat pun tumbuh.