Sudut Pandang Peradaban: Materialisme versus Wahyu
Ringkasnya, peradaban dapat diartikan sebagai hasil dari kompleksitas interaksi antara manusia, lingkungan, nilai-nilai budaya, dan zaman yang membentuk pola kehidupan sebuah masyarakat.
Umumnya (kemajuan) peradaban dicirikan dengan karakteristik tertentu, seperti pusat populasi besar, arsitektur monumental dan gaya seni yang unik (termasuk tulisan), strategi komunikasi bersama, sistem untuk mengelola wilayah dan pembagian kerja. Organisasi sosial yang kompleks adalah ciri penting suatu peradaban dengan hierarki sosial yang terstruktur, peraturan hukum, dan sistem pemerintahan (kekuasaan) yang berfungsi.
Salah satu contoh peradaban yang sering dibahas dalam buku sejarah adalah Mesir Kuno. Peradaban Mesir Kuno terkenal karena piramida megah, sistem tulisan hieroglif, dan peradaban yang berkembang di sepanjang Sungai Nil.
Peradaban Mesir kuno
Dalam masyarakat sosio-politik, faktor kekuasaan beserta sistem pemerintahan sangat berperan dalam membentuk, mempertahankan dan mengembangkan konsep, paradigma dan nilai-nilai tentang apa yang disebut sebagai kemajuan (peradaban) suatu masyarakat, dan menggerakkan masyarakatnya untuk mencapai kemajuan yang dipersepsikan tersebut.
Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah SWT tidak mempermasalahkan definisi istilah peradaban di atas, namun menilai apa yang menjadi sudut pandang, motif dan tujuan dari (kemajuan) suatu peradaban. Apakah didasari oleh sudut pandang/nilai-nilai materialisme dan hawa nafsu. Ataukah didasari oleh pemahaman atas fungsi-tugas manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi untuk memakmurkan bumi dalam rangka mengabdi dan bersyukur kepada-Nya.
Peradaban dalam pandangan materialis sering menilai kemajuan peradaban dari aspek materi (arsitektur bangunan, perkakas, mesin, perangkat keras maupun lunak). Dan upaya untuk memajukan peradaban materialis ini umumnya dimotivasi oleh ambisi dan hawa nafsu suatu kelompok masyarakat yang berada pada struktur kekuasaan yang lebih tinggi. Sehingga cenderung menciptakan ketimpangan (kasta) sosial dalam suatu masyarakat/bangsa.
Terdapat masyarakat yang diuntungkan secara sosial-politik-ekonomi dan masyarakat yang dilemahkan (mustadh’afin). Pada akhirnya menjadi peradaban yang tidak beradab, bahkan biadab (kemajuan materi namun kemunduran akhlaq manusianya).
Cermati (tadabbur) Al-Qur’an surah Al-Fajr (89): 6-12, bagaimana (kemajuan) peradaban kaum ‘Ad, Tsamud dan Fir’aun berujung pada kesombongan kelompok sosial tertentu, kezaliman (penindasan), kekufuran, hingga kerusakan manusia dan lingkungannya (fasaad).
Tidakkah kau memperhatikan bagaimana Rabb-mu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram (ibu kota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang sebelumnya tidak pernah dibangun (suatu kota pun) seperti itu di negeri-negeri (lain)? dan (kaum) Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu banyak berbuat kerusakan di dalamnya (negeri itu). (QS 89: 6-12)
Kehidupan kaum ‘Ad sangat makmur, mereka bahkan memiliki peradaban yang tinggi dan unggul dalam bidang pertanian dan arsitektur. Mereka juga memiliki banyak harta dan binatang ternak. Sebagian besar lembah tempat tinggal mereka dijadikan ladang pertanian yang subur dan hijau.
Namun semua kenikmatan tersebut tidak menjadikan kaum ‘Ad hamba-hamba yang bersyukur dan bertaqwa kepada Allah. Begitu juga dengan kamu Tsamud. Bahkan Fir’aun memiliki bala tentara yang sangat besar dan kuat pada masanya di samping mampu membangun monumen-monumen besar seperti piramida yang masih bisa disaksikan hingga hari ini sebagai keajaiban (peradaban) dunia.
Peradaban kaum ‘Ad
Potret (sejarah) peradaban di atas bertolak belakang dengan peradaban yang dibangun oleh para Rasul seperti Nabi Dawud as dan Sulaiman as. Cermati Al-Qur’an surah Saba (34): 10-13 dan surah An-Naml (27): 15-19.