Sumpah Pemuda: Diprakarsai Pemuda Revolusioner, Diikuti Pemuda Hebat, Diperingati Pemuda Domisili
Mungkin di beberapa sekolah masih ada yang menghadirkan perlombaan: menulis dan baca puisi; mengarang cerpen, bahkan menulis essai. Itu bagus. Ada pembangunan literasi di sana. Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan sang Wakilnya, pemuda ‘domisili’ yang juga merayakan dengan benar. Namun sebagian sekolah lainnya hanya mengadakan pawai dengan pakaian adat nasional: berkeliling di jalan, dadah-dadah dan berfoto.
Kemarin, sejak siang, sore, hingga malam, tiap kali buka YouTube, selalu ada atau muncul thumbnail peringatan Sumpah Pemuda pakai joget.
Jika ada yang berkata bahwa saya tidak berhak men-judge mereka, para pemuda itu, yang memperingati Sumpah Pemuda seperti itu, yang penting masih mengingat dan ada ‘semangat Sumpah Pemuda’nya, selebihnya tinggal diajari, ya memang ada benarnya. Lagi-lagi saya ingin menyampaikan ucapan dari pemuda Wakil Menteri Kebudayaan itu, bukan domisili –kata ini begitu addict, membuat saya enggan menulis domain– saya untuk menilainya.
Silahkan pemuda ‘domisili’ dan pemuda ‘influencer’ merayakan Sumpah Pemuda dengan cara mereka. Itu hak mereka. Para pemuda yang sama, yang joget Sumpah Pemuda dan ‘domisili’ itu pula, yang karena politik, waktu menjelang dan saat pilpres lalu, mengusir cucu dari pemuda yang menjadi pahlawan nasional: AR Baswedan; melalui sosial media mereka, sang cucu pahlawan itu disuruh balik pulang ke Yaman, suruh pindah dari Indonesia ke Arab.
Padahal sang cucu juga menggelorakan perjuangan yang sama dengan sang kakek: pemuda sebagai agen perubahan, berjuang untuk nasionalisme, berjuang untuk perubahan menuju bangsa yang lebih baik.
Lagi-lagi, bukan ‘domisili’ saya untuk menghakimi. Apalagi menegur atau mencercanya. Meskipun, melihat hal itu –tentu saja– saya ‘nggrundel’ dalam hati. []
Nadeem, Kolumnis, Mantan Marbot Masjid.