Survei vs Realitas
Menjelang pilpres 14 Februari 2024, banyak bermunculan survei-survei calon presiden. Mayoritas survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei politik itu menempatkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang. Angkanya sekitar 40 sampai 50 persen. Pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ditempatkan di nomor dua atau tiga.
Validkah survei ini? Entah. Tapi survei memang bisa diakali. Meski yang disurvei mewakili daerah seluruh Indonesia Dengan pemilihan responden di komunitas daerah tertentu, survei bisa ditebak hasilnya. Apalagi di tanah air kebanyakan lembaga survei adalah dibayar sesuai dengan keinginan sang pemesan.
Menurut Denny JA, survei ada dua. Ada survei sesuai realitas dan survei opini. Hasil-hasil survei yang dimuat media massa kebanyakan adalah survei opini. Maka jangan heran tahun 2017, hampir semua lembaga survei keliru. Mereka saat itu menempatkan Ahok sebagai calon pemenang gubernur DKI. Tapi hasil Pilgub ternyata Anies pemenangnya dan Ahok keok.
Karena itu banyak kalangan, baik intelektual maupun awam tidak percaya hasil survei pilpres. Mereka mungkin membacanya di media, tapi dalam hati tidak percaya.
Dilihat dari kampanye kampanye yang dilakukan Paslon, Anies Baswedan terlihat paling banyak massanya. Ribuan atau puluhan ribu ikut kampanye Anies di daerah-daerah. Mereka tidak dibayar untuk datang, mereka datang dengan kerelaan hati. Baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Aceh hingga Papua.
Kampanye-kampanye yang dilakukan Prabowo terlihat disetting sebelumnya. Massa dikumpulkan, kemudian Prabowo ceramah. Entah massa itu dibayar atau tidak, perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas di jalan-jalan, jarang yang mengelu-elukan Prabowo. Beda dengan Anies yang kedatangannya sejak di Bandara sudah dibanjiri dengan massa
Fenomena Anies ini memang seperti blessing in disguise. Anies diuntungkan dengan perpecahan Jokowi dengan PDIP. Megawati yang berharap Jokowi mendukung Ganjar, ternyata berbelok. Sang presiden lebih memilih dukung Prabowo dan anaknya daripada Ganjar Mahfud. Mungkin Jokowi merasa selama ini tidak dihormati Megawati. Tidak ‘diwongke’ dalam bahasa Jawa. Bagi orang Jawa, kehormatan diri itu sangat penting. Bayangkan Jokowi itu presiden, tapi Megawati selalu merendahkan dengan menyebut petugas partai.
Jokowi merasa nyaman dengan Prabowo. Ia bisa bertukar pikiran sejajar dengannya. Dengan Megawati, Jokowi dianggap anak buah dan harus menuruti apapun perintahnya. Tidak ada dialog yang setara antara Megawati dan Jokowi.
Melihat fenomena ini, maka massa yang dulu tahun 2014-2019 memilih Jokowi terbelah dua. Ada yg memilih Prabowo dan ada yang memilih Ganjar.
Di sinilah Anies diuntungkan. Dari berbagai interaksi di media sosial atau di lapangan, mungkin massa yang tahun 2019 pilih Prabowo, mungkin 80 persen pindah ke Anies. Yang milih Prabowo kini hanya massa Gerindra dan sebagian massa Jokowi. Massa partai koalisi pecah, ada yang milih Prabowo dan ada yang milih Anies. Memang dalam pilpres, belum tentu arahan pimpinan partai diikuti oleh massa konstituennya.
Jangan heran hasil-hasil survei di media sosial yang obyektif, banyak memenangkan Anies.
Kini di massa pengikut Anies ada jargon bahwa kalau pemilu jujur dan adil, insyaallah Anies pemenangnya. Pelatihan-pelatihan saksi di daerah-daerah dibentuk, agar tidak terjadi kecurangan seperti pemilu sebelumnya.
Akankah Anies jadi presiden 2024? Wallahu azizun hakim.[]
Nuim Hidayat, Penulis dan Pengamat Sosial, Politik dan Agama.