SUARA PEMBACA

Susu Ikan Aroma Cuan?

Riuh rendah pembicaraan soal susu ikan di program makan siang gratis Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto. Pro kontra pun mengemuka terkait efisiensi susu ikan sebagai pengganti susu sapi. Bukan hanya para ahli, media asing pun turut menyoroti perihal susu ikan ini.

Ahli gizi dr Tan Shot Yen mengaku heran dengan wacana susu ikan. Ia menegaskan bahwa susu bukanlah sumber protein satu-satunya. Apalagi ‘susu ikan’ yang aslinya bukan susu, namun daging ikan yang melalui sejumlah pemrosesan untuk bisa menjadi bubuk. Padahal, akan lebih bergizi jika ikannya langsung dikonsumsi tanpa ultra-proses (detikHealth.com, 12/09/2024).

The Straits Times, koran asal Singapura menuliskan laporan kritikus tentang susu ikan. Bahwa susu ikan mungkin bukan alternatif yang baik untuk anak-anak karena memiliki kadar gula yang tinggi dan kurangnya dukungan ilmiah mengenai manfaat kesehatan jangka panjangnya.

Hal senada ditulis surat kabar asal Australia, The Sydney Morning Herald. Media tersebut menyoroti dampak kesehatan dari susu ikan dan apakah mampu mengganti nutrisi yang dikandung susu sapi. Selain itu, koran asal Negeri Kanguru itu menyoroti wacana susu ikan sebagai substitusi susu sapi adalah dalam rangka menekan anggaran yang membengkak (cnnindonesia.com, 13/09/2024).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memperhitungkan pelebaran defisit APBN sekitar 2,29 persen hingga 2,82 persen. Banyak faktor penyebab defisit, satu diantaranya adalah program makan siang bergizi gratis. Dan untuk tahun pertama di tahun 2025, pemerintah menganggarkan Rp71 triliun untuk program iconic tersebut. Diprediksi anggaran program makan siang bergizi gratis akan bertambah setiap tahunnya.

Susu ikan yang lebih tepatnya adalah sari ikan, terbuat dari daging ikan segar yang diekstrak menjadi bubuk. Pengolahan teknologi dari daging ikan menjadi bubuk ini menghasilkan hidrolisat protein ikan (HPI). Produk ini merupakan hasil inovasi UMKM binaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Demi mendorong produksi susu ikan, KKP telah membangun pabrik percontohan susu ikan di Pekalongan, Jawa Tengah. Targetnya di bulan November 2024, pabrik tersebut akan rampung. Diprediksi, pabrik percontohan tersebut mampu memproduksi 50 juta ton susu ikan per bulan.

Para pendukung Presiden Terpilih RI kompak bersuara sama bahwa program ini mampu memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM). Harapannya, melalui program ini tak ada lagi masyarakat Indonesia yang kekurangan gizi. Benarkah?

Faktanya, negeri ini telah gagal mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan di tengah sumber daya pangan yang melimpah. Akibatnya, timbul masalah kesehatan yang cukup serius di tengah masyarakat seperti stunting dan gizi buruk. Program makan siang bergizi gratis hanyalah solusi tambal sulam dari kegagalan mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan dan tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.

Di sisi lain, negeri ini memiliki kekayaan laut yang sangat besar. Artinya, potensi ikan sebagai sumber protein pun sangat banyak. Mengkonsumsi ikan segar sebenarnya jauh lebih bagus, lebih mudah dan murah. Namun pemerintah justru mempersulit diri dengan proses hidrolisis yang berpotensi merusak mutu protein ikan.

Tidak sedikit biaya produksi yang diperlukan untuk proses HPI, tentu akan menguras dana APBN. Untuk menutupinya, pemerintah membuka peluang bagi swasta untuk industrialisasi susu ikan. Inilah buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi di negeri ini.

Kebijakan yang diambil pemerintah seolah untuk rakyat, padahal membuka peluang usaha kepada korporasi dan oligarki. Program makan siang bergizi gratis seakan membuka topeng rezim sekuler demokrasi yang memanfaatkan isu generasi untuk proyek industrialisasi. Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan demi generasi sehat dan kuat, sebaliknya justru berlepas tangan dengan menyerahkan proyeknya pada pihak swasta oligarki.

1 2Laman berikutnya
Back to top button