Suswono Vivere Pericoloso
Tahun Vivere Pericoloso atau disingkat TAVIP oleh Bung Karno, menjadi tema utama pidato yang ia sampaikan pada peringatan HUT RI ke-19, pada 1964.
Dalam pidatonya itu, Bung Karno seolah menggambarkan betapa panasnya pertarungan politik saat itu, sebagai tahun politik. Sampai-sampai ia menyebut adanya ancaman serius dari “gerakan-gerakan subversif, kontra-revolusioner, antek nekolim, dan kaum hipokrit.”
Konon, pidato Bung Karno tersebut kemudian menginspirasi Christopher Koch, seorang novelis Australia yang menulis sebuah novel yang diterbitkan pada 1978, dengan latar belakang keadaan Jakarta menjelang dan saat terjadinya peristiwa G 30 S/ PKI 1965, berjudul “The Year of Living Dangerously”.
Meski kalimat itu berasal dari bahasa Italia, yang bermakna “hidup penuh bahaya”, atau “hidup nyrempet-nyrempet bahaya”, pidato vivere pericolo Bung Karno dianggap sebagai penggambaran paling pas atas kondisi politik saat itu.
Faktanya, tahun politik, dari satu generasi ke generasi selanjutnya memang selalu panas. Tak hanya di tingkat elit kekuasan panasnya merambah. Jilatan apinya bahkan sampai menyentuh ke rakyat di kalangan akar rumput.
Suka tak suka, kontestasi politik kekuasaan, selalu menjadi sebuah arena ‘peperangan’. Aktor-aktor politik beserta pemain sirkus politik selalu cerdas memanfaatkan isu dan momentum. Masing-masing sigap dan jeli memantau gerak-gerik dan ucapan lawan politiknya. Setiap ucapan maupun perbuatan bisa menjadi ranjau. Terpeleset sedikit saja, akan menjadi malapetaka.
Apalagi, ketika kontestan politik dengan gegabah menggunakan simbol-simbol agama, ajaran-ajarannya dan ayat-ayat di kitab suci agama, atau segala yang berhubungan dengan agama sebagai alat untuk berkomunikasi politik atau sebagai isu-isu dalam retorika meraih dukungan suara. Maka, hidupnya bukan lagi nyerempet-nyerempet bahaya, tapi sudah harus bersiap dihantam oleh bahaya. Vivere pericoloso pun akan berubah menjadi colpito dal pericoloso.
Basuki Tjahja Purnama, mantan Gubernur DKI Jakarta hasil warisan dari Jokowi yang ikut kontestasi Pilpres (2014), pernah merasakan hal itu. Bagaimana kala itu, pria yang akrab dipanggil Ahok itu terjerat kasus penistaan agama akibat ucapan dalam pidatonya yang menyitir ayat Al-Qur’an, surah Al Maidah ayat 51, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, September 2016.
Ucapan yang kemudian memunculkan gelombang protes. Termasuk aksi massa besar umat Islam, yang tercatat dalam sejarah sebagai aksi massa terbesar di Indonesia. Yakni, Aksi 411 dan 212. Yang dihadiri jutaan massa, berkumpul di Monas dan sekitarnya pada bulan November dan Desember 2016.
Meski masih bisa mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017, sebagai calon gubernur berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat dari PDIP sebagai wakilnya, karena mendapat izin Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, kala itu, karena statusnya masih dalam persidangan, namun akhirnya Ahok terjungkal juga. Perolehan suaranya jauh di bawah pasangan Anies-Sandi sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta 2017.
Padahal, pasangan Ahok-Djarot merupakan ‘jagoan’ istana dan mendapat dukungan penuh dari koalisi gemuk partai-partai pendukung pemerintah.
Seusai Pilkada, Ahok divonis hukuman dua tahun oleh hakim. Meski telah dibebaskan pada 24 Januari 2019 dan telah pindah gerbong partai politik ke PDIP, namun karir politik Ahok semakin redup.