Syekh Ali Abdur Raziq: Ulama Pertama Penentang Khilafah
Demikian pula Al-Qur’an berulangkali menyatakan bahwa kaum Muslim merupakan satu kesatuan, serta memberikan ancaman siksa di dunia dan di akhirat bagi siapa saja yang membuat mereka bertikai dan berpecah belah.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran [3]: 103)
Sesungguhnya umatmu adalah ummat yang satu. Dan aku adalah Tuhanmu maka sembahlah aku. (QS. al-Anbiya [21]: 92)
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada agama Allah dan perjanjian dengan manusia. Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. (QS. Ali Imran [3]: 112)
Sebagai ulama dari al-Azhar, apakah ia mengabaikan janji Allah kepada kaum Muslim yang taat.
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. An-Nur [24]: 52)
Demikian pula firman Allah:
Maka apakah mereka tidak melihat bahwasannya Kami mendatangi negeri orang-orang kafir, lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka, apakah mereka yang menang. (QS. al-Anbiya [21]: 44)
Atau apakah Syekh yang faqih itu melupakan hadits yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
Kelak akan terlepas ikatan Islam, ikatan demi ikatan. Setiap kali terlepas satu ikatan maka orang-orang akan berpegangan kepada (hukum) yang lain. Yang pertama kali terlepas adalah hukum (pemerintahan), dan yang terakhir adalah shalat. (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Mengenai kepemimpinan Abu Bakar, apakah ulama faqih itu mengabaikan sejarah Islam, sampai-sampai ia tidak mengetahui bahwa Abu Bakar telah berpidato sesaat sesudah diangkat sebagai Khalifah:
“Wahai manusia, sekarang aku adalah pemimpin kalian, sekalipun aku bukan yang terbaik di antara kalian. Bila aku berbuat benar, dukunglah aku; bila aku berbuat salah, maka tunjukkanlah aku jalan yang benar. Taatilah aku sejauh aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya; bila aku tidak mentaati keduanya, maka kalian tidak boleh taat kepadaku. Ketahuilah, bahwa aku adalah manusia biasa sebagaimana kalian semua.”
Apakah ungkapan di atas adalah kata-kata seorang politisi yang ambisius, yang mementingkan urusan bangsa Arab semata; atau seorang penguasa yang bertumpu pada lambang-lambang kebesaran kerajaan dan tangan besi kediktatoran seperti yang digambarkan oleh Syekh modernis tersebut? Bila benar tugas Rasulullah saw murni bersifat spiritual saja dan tidak berjuang menegakkan Islam melalui kekuasaan institusi politik, maka dapat dipastikan bahwa beliau tidak akan pernah berhijrah. Sebaliknya, beliau tentu lebih memilih tetap tinggal di Makkah, mendakwahkan risalahnya di tengah berbagai rintangan yang mustahil dapat dilawan, hingga pada akhirnya beliau dihabisi musuh-musuh Islam dan wafat sebagai syuhada. Inilah pendapat para orientalis Kristen di Eropa dan Amerika mengenai apa yang seharusnya Rasulullah lakukan!
Selama berabad-abad, kaum Nasrani menyebarluaskan propaganda bahwa kekuasaan politik tidak dapat dipadukan dengan nilai-nilai relijius. Itulah sebabnya seluruh cendekiawan Kristen –nyaris tanpa perkecualian– menyatakan dalam berbagai buku, bahwa sifat-sifat mulia Rasulullah telah mengalami kerusakan menyusul berbagai keberhasilan politis dan militer yang diperoleh selepas Hijrah. Dengan demikian, pendapat Syekh Ali Abd ar-Raziq sangat terpengaruh dengan pemikiran dan konsep kaum Nasrani yang ingin mengangkat “kemurnian” ajaran Rasulullah, sampai-sampai ia merasa harus mendebat dalil-dalil sharih (gamblang) untuk menunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah menghendaki kekuasaan politik. Padahal, ayat-ayat al-Qur’an, hadits, dan ijma’ sahabat tidak sedikit pun menyisakan keraguan dalam benak tiap Muslim atau non-Muslim, bahwa sejak semula Islam ditujukan untuk menjadi suatu ajaran menyeluruh (kaffah) yang diaplikasikan oleh satu kesatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Berbagai peraturan Islam, seperti zakat, jihad, bahkan shalat berjamaah dan hukum-hukum formal lainnya –yang tidak dapat diterapkan tanpa kekuasaan politik– merupakan bukti yang tak terbantahkan atas fakta tersebut.
Syekh Ali Abd ar-Raziq dan pendukungnya di Barat mengharapkan Islam menjadi sekadar ajaran teologis, filsafat teoritis, atau mimpi-mimpi indah yang tidak berguna. Mereka tidak dapat menerima fakta bahwa Islam pernah benar-benar diimplementasikan. Sekarang mereka bahkan tidak dapat membiarkan segolongan kaum Muslim yang tetap terinspirasi dengan sejarah masa lalu kaum mereka. Mereka juga bertekad bulat mengopinikan pemikiran mereka agar dapat menguasai kaum Muslim di masa mendatang.
Sementara itu, pernyataan dalam al-Islam wal Ushul al-Hukm tentang Abu Bakar, sahabat Rasulullah yang paling dekat, merupakan pendapat yang sama sekali keliru. Satu-satunya fakta yang riil adalah bahwa ulama modernis itu telah berupaya mengubah (agama) Islam menjadi (sebagaimana) Kristen!
Referensi:
al-Islam wal Ushul al-Hukm, Ali Abd ar-Raziq, Cairo, 1925
Dikutip dari: Maryam Jameelah, dalam bukunya “Islam and Modernism.”