Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, Sang Pelita Umat
Ia juga mengutip hadits Rasulullah, ”Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama.” (HR Ahmad)
Merupakan fakta bahwa memang ada kelompok umat Islam yang berlebihan dalam menghancurkan kebatilan. Mereka cepat melakukan perusakan atau bom-bom sebelum nahi mungkar jalan damai (hikmah) ditempuh secara serius. Terhadap hal ini, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi menasihati,
“Kita menuntut agar para pemuda bersikap proporsional dan bijaksana, meninggalkan radikalisme dan kekerasan, tetapi kita tidak meminta orang tua agar membersihkan diri mereka dari kemunafikan, lidah mereka dari kebohongan, kehidupan mereka dari tipu daya dan perilaku mereka dari kontradiksi (kemunafikan).
Kita harus ksatria dan berani mengakui bahwa banyak perilaku kita yang justru mendorong para pemuda melakukan pembelaan yang lalu dikenal dengan sikap ‘radikal’. Kita telah mengaku Islam, tapi tidak mengamalkannya. Kita membaca Al-Qur’an tapi tidak melaksanakan hukum-hukumnya, mengklaim mencintai Rasulullah saw tapi tidak mengikuti sunnah beliau. Kita cantumkan dalam undang-undang dasar kita bahwa agama negara adalah Islam, tapi tidak menunaikan hak Islam dalam hukum, perundang-undangan dan penerangan.
Dada para pemuda itu telah sempit dengan kemunafikan dan kontradiksi sikap kita. Mereka berjalan sendiri menuju Islam tanpa dukungan kita. Bahkan mereka mendapati para orang tua yang menghambat jalannya, para ulama tidak memedulikannya, para penguasa menekannya dan para guru pun mencemoohkannya. Oleh karena itu, seharusnya kita mulai memperbaiki diri dan masyarakat sesuai dengan perintah Allah SWT sebelum menuntut para para pemuda dengan fikiran dingin, bijaksana, tenang dan adil…
Ulama-ulama yang memiliki pandangan tajam serta mampu memadukan antara ketajaman analisis dan ketakwaan, itulah yang dibutuhkan masyarakat. Mereka mampu memainkan perannya dalam mengarahkan kebangkitan Islam.
Barangsiapa hidup sekedar sebagai pengamat kebangkitan Islam atau sekedar mengkritisinya sedangkan ia mengambil jarak darinya, dari penderitaan-penderitaannya, dari duka lara dan dari kegelisahan serta harapannya, ia tidak akan mampu memainkan peran positif dan sehat untuk meluruskan dan membimbing kebangkitan Islam.” (lihat buku Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Radikal, Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya. Judul aslinya ‘as Shahwah Islamiyah bainal Juhud wat Tatharuf’).
Ulama besar ini tidak menyangkal akan ketakjubannya terhadap pesona Imam Hasan Al Bana. Ia melihat dan mendengar ceramah Al Bana sejak SD (sekolah Ibtidaiyah). Waktu itu Imam Al Bana membahas tentang hijrah sebagai pembatas dakwah Rasulullah diantara dua periode yang berbeda. Yaitu masa-masa pembentukan pribadi dan jiwa masyarakat di Makkah dan masa pembentukan masyarakat seutuhnya di Madinah. “Beliau berbicara dengan rinci dan gambang mengenai ciri khas masing-masing periode, yang menandai dua periode dakwah Rasulullah tersebut. Suatu uraian yang membuat jamaah terpuaskan,” tulis Syekh Yusuf.
Hubungan ulama-ulama Al Azhar dan Hasan Al Bana saat itu cukup baik. Grand Syekh Al Azhar, Syekh Mustafa Al Maraghi dekat dengan Al Bana. Ketika Imam Al Bana diserahi tanggungjawab menerbitkan majalah Al Manar, setelah pendirinya Rasyid Ridha meninggal, Syekh Al Maraghi menyatakan, ”Kami paham betul bahwa Syekh Al Bana sangat berkeinginan membangkitkan dan mengembalikan kejayaan Al Manar seperti pada masa-masa awal kemunculannya. Kenapa demikian, karena Syekh Al Bana adalah seorang Muslim yang memiliki keinginan untuk membela agamanya. Beliau memiliki paham yang ‘moderat’, serta beliau sangat memahami penyakit utama yang saat ini menjangkiti umat Islam. Beliau mengetahui rahasia-rahasia Islam yang paling mendalam, serta sangat akrab dengan seluruh kalangan masyarakat . Beliau selalu menyibukkan dirinya untuk memperbarui agama dan masyarakat dengan metode yang sesuai dengan para ulama salaf.”
Nasihat yang sering disampaikan Syekh Al Bana ketika Yusuf Al-Qaradhawi belajar di Thantha adalah: pertama, selalu bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Kedua, istiqamah dalam memegang teguh agama. Ketiga, selalu saling cinta diantara kami.
Ketika remaja itu, Syekh Yusuf merasakan sekali banyak manfaatnya bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin, yaitu: