OPINI

Penistaan Agama di Alam Demokrasi

Demokrasi diklaim memberikan ruang kebebasan secara mutlak bagi individu. Adapun empat kebebasan bagi individu adalah kebebasan beragama, berperilaku, berpendapat dan berkepemilikan. Dan keempat – empatnya merupakan hak asasi manusia (HAM).

Mestinya setiap orang mau ngomong apa saja seharusnya dibolehkan. Mau berperilaku apa saja juga harus dibolehkan. Anehnya, di saat kaum muslimin ingin berislam secara paripurna dibilang sebagai kaum puritan, terpapar paham radikal. Sementara itu, di sisi yang lain, secara masif orang melakukan penistaan terhadap Islam diberikan ruang kebebasan. Tidak ada tindakan hukum yang berarti walaupun laporan sudah disampaikan.

Serial penistaan terhadap Islam dibuka dengan penampilan Ahok. Dengan pongahnya, ia menista Alquran surat al-Maidah ayat 51. Penistaan oleh Ahok membangkitkan kemarahan umat Islam. Secara dramatis jutaan umat Islam berkumpul sebagai sebuah gelombang iman yang siap menggulung kemunafikan. Hasilnya si Ahok harus merasakan sangsi penjara dua tahun.

Bukan efek jera yang timbul setelah kasus Ahok. Bermunculan lagi para penista yang lain. Babak berikutnya, betul-betul para penista seolah kebal hukum.

Ada si Abu Janda. Dengan congkaknya, ia menyatakan bahwa bendera tauhid sebagai benderanya teroris. Bendera tauhid Liwa dan Royah adalah bendera dan panji Rasul Saw, bendera pemersatu umat Islam. Nanti pada hari kiamat, bendera Rasul saw disebut dengan nama Liwaul Hamdi. Adalah sebuah keberuntungan bagi siapa saja yang bisa berada di bawah bendera Rasul saw. Pertanyaannya, bagaimana bisa berkumpul di bawah bendera Rasul saw, Liwaul hamdi, sementara di dunia, mereka telah menistakannya?!!

Seolah saling berlomba – lomba untuk menistakan Islam. Memang terdengar sumbang. Hanya saja bila menilik pepatah arab yang menyatakan “bul ala zam – zam fatu’rof”, artinya kencingi air zam – zam niscaya kau akan terkenal, memang dianggap wajar walau penuh dengan kegilaan. Dan kegilaan yang dipertontonkan sudah melampaui batas sebuah toleransi.

Orang kafir Quraisy dulu pernah menawarkan sebuah rekonsiliasi. Mereka siap menyembah kepada Alloh swt dalam kurun waktu tertentu. Syaratnya bergantian. Rasul saw dan kaum muslimin bersedia menyembah berhala dalam kurun waktu yang sepadan. Tentunya hal demikian telah melanggar batas toleransi. Turunlah surat al Kafirun yang tegas menyatakan bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Hari ini, sudah melanggar batas toleransi hingga mengacak – acak hal yang mendasar dalam Islam. BuSuk muncul dengan perfornance ala sastrawan. Semua orang terpana akan lantunan puisinya. Di tengah halusinasi puisi, umat Islam disengat dengan tajamnya. Adzan dan kerudung serta cadar dinistakan dalam balutan bahasa sastra. Tidak kapok, BuSuk mengulangi lagi aksinya. Di momen peringatan Hari Pahlawan 2019, ia mempertanyakan yang lebih berjasa Rasul saw dan atau Sukarno dalam perjuangan bangsa Indonesia. Lagi-lagi BuSuk dilaporkan. Hasilnya tetap nihil.

Serial penistaan Islam selanjutnya memasuki era baru. Tanpa tedeng aling – aling, Menag melontarkan wacana mendiskriditkan Islam. Dari cadar, celana cingkrang hingga kontrol majelis taklim. Alibi basi yang dikemukakannya adalah menyelamatkan umat dari radikalisme.

Bahkan yang lebih miris lagi. Serial terbaru penistaan Islam diperankan oleh seorang dianggap ulama dan disebut gus. Artinya pemain baru ini mengisi ceramah – ceramah tentang Islam. Gus Muwafiq dengan ringannya menyatakan bahwa lahirnya Rasul saw itu biasa saja dan masa kecilnya Rasul saw itu rembesen, katanya.

Kelahiran penghulu alam, Rasul saw dipenuhi dengan keistimewaan. Salah satunya yang disebutkan di dalam riwayat berikut ini.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Kholid bin Ma’dan: Sesungguhnya sebagian sahabat Nabi saw bertanya kepada Nabi saw: Beritahukanlah pada kami tentang dirimu?

Rasul saw bersabda: Ibuku telah melihat di saat mengandungku, sesungguhnya telah keluar cahaya dari kandungannya hingga dengan cahaya itu bisa menerangi singgasana-singgasana Syam.

Tentunya kejadian luar biasa ini tidak bisa dilihat dengan logika-logika sekuler. Akan tetapi dengan logika keimanan bahwa Allah SWT berkuasa sesuai kehendaknya.

Justru sangatlah masuk akal bila Rasul Saw dikelilingi oleh orang – orang terbaik, baik sejak masa kecilnya hingga masa kerasulan beliau. Abdul Muthalib, kakeknya adalah bangsawan Quraisy. Beliau adalah penjaga ka’bah dan penyedia jamuan bagi semua kafilah. Di samping itu, Abdul Mutholib sangat mencintai cucunya dari putra kesayangannya yakni Abdullah. Tentunya perhatian terhadap fisik dan pendidikan Rasul saw di masa kecilnya menjadi perhatian utamanya.

Ya, serial penistaan Islam ini akan terus berlanjut dan berulang. Kebebasan Ham sejatinya hanyalah kebebasan untuk menistakan Islam. Walhasil, sebuah omong kosong propaganda melalui demokrasi bisa terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Yang ada adalah upaya melemahkan umat dengan mengadu domba di antara mereka sendiri. Memang sudah saatnya menggusur demokrasi, yang notabenenya demokrasi itu merupakan alat penjajahan guna menghalangi kebangkitan Islam.

Ainul Mizan
Penulis tinggal di Malang

Artikel Terkait

Back to top button