Taha Hussain, Idola Para Cendekiawan Mesir
Selama hampir setengah abad lamanya, Dr. Taha Hussain menjadi idola para cendekiawan Mesir. Meski sering disebut-sebut oleh para pengagumnya sebagai salah seorang murid Syaikh Muhammad Abduh, namun nampaknya mustahil kalau Dr. Taha Hussain pernah bersama-sama dengan Muhammad Abduh secara pribadi. Sekalipun demikian, gagasan-gagasan modern yang disampaikan serta kebesaran reputasi Muhammad Abduh memang sangat mempengaruhi jalan hidupnya di masa mendatang.
Lahir pada sekitar 1890 di sebuah desa kecil yang terletak di hulu sungai Nil, Taha Hussain kecil menderita ophthalmia, sebuah penyakit mata yang parah. Di tengah kebutaannya, Taha Hussain berusaha keras untuk menghafal seluruh Al-Qur’an, sampai pada saat berusia 13 tahun ia mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar.
Ketika kuliah di Kairo, ia mulai mencari kelompok-kelompok mahasiswa yang pernah mendapatkan pendidikan Eropa, sampai kemudian timbul niatnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Akhirnya, dengan perasaan muak, Taha Hussain keluar dari Al-Azhar. Petikan kisah awal kehidupan Taha Hussain tersebut terungkap secara jelas dan rinci dalam otobiografinya yang ditulis dengan gaya sentimentil.
Setelah menyelesaikan pendidikannya dan menjadi salah seorang yang pertama kali mendapat gelar PhD dari Universitas Kairo yang baru didirikan (kemudian berubah nama menjadi Universitas Mesir), Taha Hussain mendapat beasiswa dari Pemerintah Mesir untuk melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris, dimana ia mendapat gelar PhD yang kedua.
Di Paris ini pula Taha Hussain bertemu dengan Suzanne Bresseau, yang kemudian dinikahinya pada 1918. Setelah kembali ke Mesir, ia menjadi dosen Sastra Arab di Universitas Kairo, dan kemudian menjadi dekan fakultas tersebut. Pada saat itulah, ia mulai menulis buku-buku yang kemudian menjadi kontroversi karena memberikan kritik yang sangat pedas terhadap “Islam ortodoks”.
Pada 1926, bom waktu itu meledak ketika Taha Hussain menerbitkan buku dengan judul yang menyesatkan, “Syair di Masa Sebelum Islam”. Tujuan utama buku tersebut adalah melontarkan keraguan mengenai otentisitas Al-Qur’an dan al-Hadits, serta para ahli tafsir dan fuqaha yang terkemuka, dengan menyebut syair di masa sebelum Islam sebagai suatu metode linguistik untuk menafsirkan Kitab Suci. Ia menyebutkan bahwa telah terjadi pemalsuan besar-besaran, “sehingga dengan demikian, para ulama dapat membuktikan “kebenarannya” sesuai dengan yang mereka kehendaki.”
“Tuhan telah memberi manusia akal pikiran yang gemar terhadap keraguan, kebimbangan, dan kebingungan. Konsekuensinya -dan merupakan hal yang paling penting– adalah bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada revolusi pemikiran.”
Dalam bukunya tersebut, Dr. Taha Hussain tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melemparkan cemoohan kepada seluruh pemikir, fuqaha, dan ulama pada periode-periode awal sejarah Islam, karena mereka dianggap “melakukan pengkhianatan terang-terangan” dengan jalan “memalsukan” Al-Qur’an dan “merekayasa” al-Hadits. Tidak cukup dengan itu semua, Taha Hussain menganggap bahwa Musa as tidak pernah hidup di dunia, sedangkan cerita-cerita dalam Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan mitologi semata.
“Taurat memang menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, demikian pula Al-Qur’an. Tetapi, penyebutan nama-nama mereka dalam Taurat dan Al-Qur’an tidak cukup kuat untuk membuktikan keberadaan mereka dalam lintasan sejarah. Apalagi kisah kedatangan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, ke Makkah dan menjadi nenak moyang bangsa Arab di daerah tersebut. Kita melihat bahwa dalam kisah tersebut terdapat sepenggal kisah fiksi untuk sekadar menunjukkan hubungan Bani Israil dan Arab pada satu sisi dengan Islam dan Yahudi pada sisi yang lain.”
Buku Taha Hussain yang lain, yang sangat berpengaruh semasa hidupnya adalah “The Future of Culture in Egypt.” Diterbitkan pada 1938, buku tersebut mempunyai misi untuk memperkenalkan budaya Mesir sebagai bagian dari Eropa, serta membuat suatu rancangan program pendidikan umum berlandaskan kebudayaan tersebut. Taha Hussain mengawali tulisannya dengan pertanyaan sebagai berikut: