Taha Hussain, Idola Para Cendekiawan Mesir
Mengapa Dr. Taha Hussain mendorong bangsanya untuk menentukan pilihan antara dua alternatif tersebut? Mengapa bangsa Mesir harus berusaha meniru orang-orang Inggris atau –jika tidak– orang Cina? Mengapa mereka tidak merasa bangga sebagai kaum Muslim? Secara sengaja dan terang-terangan, Taha Hussain menganggap remeh kedudukan Islam sebagai suatu peradaban yang independen dan besar di hadapan para pembaca buku-bukunya.
“Pernyataan Khadif Ismail bahwa Mesir adalah bagian dari Eropa tidak perlu dipandang sebagai pernyataan yang sombong dan berlebihan . . . Tuhan telah melindungi bangsa kita dari penjajahan bangsa Turki, maka kita harus tetap menjaga hubungan dengan negara-negara Eropa dan turut serta dalam kebangkitan renaissance. Langkah-langkah ini akan menghasilkan suatu peradaban yang khas bagi bangsa Mesir, yang berbeda dengan peradaban yang tengah kita alami pada saat ini . . . Namun demikian, Tuhan telah menganugerahkan berkah kepada kita atas segala kesulitan dan kesengsaraan yang pernah kita alami. Dunia telah berjuang selama ratusan tahun untuk mencapai kemajuan sebagaimana yang kita rasakan saat ini, dan menjadi tugas kita untuk meraih itu semua dalam satu generasi ini. Betapa celakanya kita bila tidak merebut kesempatan emas itu! Bahkan sesungguhnya, bangsa-bangsa Eropa telah memakai metode yang terdapat di dunia Islam pada masa Abad Pertengahan untuk meraih kemajuan hingga sejauh ini. Mereka berbuat sebagaimana yang kita lakukan sekarang ini. Ini sekedar masalah perbedaan waktu saja.”
Ungkapan-ungkapan bernada apologetik, seperti pernyataan Taha Hussain di atas, merupakan gaya pengungkapan yang populer pada saat sekarang ini; yaitu bahwa bangsa Eropa telah mengalami kebangkitan ilmu pengetahuan setelah mengadopsi metode yang dibawa bangsa Arab (baca: Islam), sedangkan proses westernisasi yang dilakukan kaum Muslim sekadar merupakan upaya mewarisi semangat kebangkitan tersebut. Atas dasar ungkapan yang sederhana tersebut, banyak kaum Muslim terpelajar yang meninggalkan akidahnya. Dr. Taha Hussain mengabaikan fakta sejarah bahwa pengambilan nilai-nilai yang terdapat di dunia Islam oleh orang-orang Eropa tidak pernah membuat mereka mengubah peradabannya menjadi peradaban Islam. Sekalipun bangsa Eropa di abad pertengahan menerima kemajuan yang dihasilkan para cendekiawan dan filsuf Islam dengan penuh semangat, namun mereka tidak pernah mengorbankan independensi budayanya, sebagaimana yang diserukan Dr. Taha Hussain kepada bangsanya.
“Tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang dapat mencegah bangsa Mesir dalam menikmati kehidupan persis seperti bangsa Eropa. Untuk dapat menjadi mitra sejajar dalam peradaban dengan orang-orang Eropa, kita bangsa Mesir harus meniru peradaban mereka sebagaimana adanya dan secara menyeluruh; dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam aspek yang disukai maupun tidak. Siapa pun yang menyerukan langkah yang berlainan dengan cara ini, maka ia termasuk orang yang menyesatkan atau orang yang tersesat.”
Tidak lama sebelum Raja Farouk dilengserkan pada tahun 1952, Dr. Taha Hussain menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Pada masa jabatannya itu, ia berupaya keras mengimplementasikan program-programnya.
“Pengawasan negara terhadap pendidikan tingkat pertama dan kedua di Universitas Al-Azhar merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sejarah Mesir, karena tradisi dan kewajiban agama yang dipegang teguh di lembaga pendidikan yang terkemuka ini telah menjadi benteng konservatisme dan praktik-praktik keagamaan yang kolot. Para mahasiswa yang mendapatkan pendidikan eksklusif Al-Azhar akan terisolasi dari peradaban dunia modern yang melingkupinya. Sebagai konsekuensinya, penyesuaian yang dilakukan setelah kelulusan agar ia mampu terjun menghadapi kompleksitas kehidupan dunia modern akan jauh lebih sulit dilakukan ketimbang pada saat ia masih muda. Kita juga harus memikirkan betapa pola pemikiran Al-Azhar yang telah kadaluarsa boleh jadi membuat para mahasiswa sulit memahami konsep patriotisme dan nasionalisme dalam pemikiran modern bangsa-bangsa Eropa. Beberapa waktu yang lalu, Rektor Universitas Al-Azhar menyampaikan pidato di radio ketika memperingati suatu hari besar Islam, dimana ia menyatakan bahwa kiblat di Tanah Suci Makkah merupakan poros nasionalisme Islam. Para mahasiswa di Al-Azhar juga harus belajar dan diajari sejak awal, bahwa batas-batas geografis tanah tumpah darah mereka Mesir juga menjadi poros nasionalisme yang tidak bertentangan dengan poros nasionalisme sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor. Konsep nasionalisme masuk ke Mesir bersama-sama dengan produk-produk peradaban kontemporer lainnya, dan sekarang menjadi dasar hubungan antar warga negara dan warga dunia. Oleh karena itu, Al-Azhar mesti memahami realitas ini dan merevisi program pendidikannya, terutama untuk tingkat pertama dan kedua. Tidak ada alasan bagi Universitas Al-Azhar untuk menentang peradaban abad kedua puluh ini. Al-Azhar tidak boleh terjebak dengan kenyataan bahwa masyarakat banyak –yang masih bermental abad pertengahan– sampai saat ini masih menghormati dan membenarkan pemikiran-pemikiran Al-Azhar. Generasi-generasi yang akan datang dapat dipastikan akan menganut pemikiran-pemikiran Eropa, dan Al-Azhar mau tidak mau harus mengikuti alur yang sama bila ingin mempertahankan hubungan yang erat antara mereka dengan para pendahulunya.”
Presiden Jamal Abdul Nasser mengikuti saran-saran Dr. Taha Hussain dengan sepenuh hati, sampai pada 18 Juli 1961 ia mengeluarkan keputusan untuk menempatkan Universitas Al-Azhar langsung di bawah kendalinya.
Dalam rangka mengaplikasikan program yang disarankan Taha Hussain, Presiden Jamal Abdul Nasser menetapkan sekularisasi Universitas Al-Azhar dengan mendirikan fakultas kedokteran, adminstrasi bisnis, pertanian, dan teknik. Sesuai dengan ketentuan baru tersebut, Jurusan Studi Islam seakan terasing dan terpinggirkan, serta tidak lagi menjadi prasyarat penting bagi kelulusan para mahasiswa.
Demikianlah, dengan satu kali pukulan Presiden Nasser –atas inspirasi dari Dr. Taha Hussaian– menghancurkan salah satu lembaga pendidikan Islam yang paling penting di dunia.
Referensi:
An Egyptian Childhood, Taha Hussain, Paul Rotledge and Keegan, London, 1932
The Stream of Days: A Student at Al-Azhar, Taha Hussain, Longmans Green & Co., London, 1948
The Future of Culture in Egypt, Taha Hussain, American Council of Learned Societies, Washington DC, 1954
Catatan:
Ketiga buku di atas tergolong sebagai karya klasik modernisme, yang termasuk dalam “daftar hitam” dan harus dibaca secara hati-hati karena buku-buku tersebut secara sengaja atau tidak dapat menimbulkan bahaya bagi pembaca muslim.
Dikutip dari: Maryam Jameelah, dalam bukunya “Islam and Modernism”.