Tak Ada ‘Privilege’ untuk Putra-Putri Amirul Mukminin (1)
Abdullah selanjutnya bercerita, “Kemudian Umar memanggil para pedagang. Mereka membeli barang itu seharga 400 ribu dirham. Umar menyerahkan kepada saya sebesar 80.000 dirham, dan sisinya ia kirimkan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk dibagikan kepada publik.”
Dirawikan dari Aslam, ia bercerita, “Abdullan bin Umar dan Ubaidillan bin Umar ikut pergi bersama rombongan pasukan kaum muslimin ke Irak. Tatkala mereka berdua hendak pulang, mereka bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ari. Saat itu, Abu Musa menjabat sebagai Wali Bashrah. Abu Musa menyambut mereka berdua dengan baik.
Kepada mereka berdua, Abu Musa mengatakan, “Sekiranya aku bisa melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat untuk kalian berdua, niscaya milik publik yang hendak kuserahkan akan kulakukan. O ya, ini ada uang kepada Amirul Mukminin. Aku akan pinjamkan uang ini kepada kalian berdua, lalu kalian belikan barang berharga di sini, kemudian kalian jual di Madinah. Setelah itu, kalian serahkan modalnya kepada Amirul Mukminin
dan labanya untuk kalian berdua.”
Mereka berdua pun melakukan apa yang disarankan Abu Musa. Abu Musa menulis sepucuk surat kepada Umar, yang isinya memberitahukan agar Umar mengambil uang dari mereka berdua. Tatkala mereka berdua bertemu dengan Umar, Umar bertanya, “Apakah Abu Musa meminjamkan uang kepada anggota pasukan yang lain sebagaimana dia meminjamkan uang kepada kalian berdua?”
Mereka berdua menjawab, “Tidak.” “Kalau begitu, hendaklah kalian berdua serahkan uang itu dan labanya ke Baitul Mal!” kata Umar.
Abdullah diam, sementara Ubaidillah berkomentar, ‘Anda tidak patut melakukan hal itu, wahai Amirul Mukminin. Sekiranya uang ini hilang atau berkurang, maka kami akan mengganti dan menjaminnya.”
“Hendaklah kalian berdua serahkahkan uang itu dan labanya ke Baitul Mal!” kata Umar. Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap memprotes keputusan Umar. Salah seorang sahabat yang berada di majlis Umar menyarankan, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya bila Anda jadikan hal itu sebagai qiradh (pemberian modal untuk berdagang dan memperoleh bagian laba, penj).
Setelah itu, Umar mengambil modal dan separoh dari labanya. Sementara Abdullah dan Ubaidillah mendapat separoh dari labanya. Dikatakan, “Hal ini merupakan praktik qiradh pertama dalam Islam.’ []