Takjil War, Tren Baru di Bulan Ramadhan
Takjil war atau perang takjil, menjadi fenomena unik yang naik daun di Ramadan kali ini. Viral beredar video pendeta yang mengajak jemaatnya berburu takjil. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan rela mencuri start tiga atau empat jam sebelum azan Maghrib berkumandang, untuk menghindari kepadatan pembeli. Bahkan tak ketinggalan juga turis mancanegara, ikut memeriahkan tren ini.
Mereka turut berdesakan bersama kaum muslim, demi membeli kudapan spesial Ramadan seperti kolak, aneka bubur dan es, gorengan dan sebagainya yang banyak dijual khusus di bulan Ramadan. Perburuan tersebut tidak hanya untuk konsumsi sendiri, akan tetapi mereka pun ikut membagikan takjil di jalan-jalan, sebagaimana yang dilakukan kaum muslim, kepada para pengguna jalan.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil berarti mempercepat (buka puasa). Hal ini sesuai dengan akar katanya dalam Bahasa Arab, yakni ajila atau menyegerakan. Jadi maksud ta’jil atau takjil adalah penyegeraan membatalkan puasa dengan makanan pembuka.
Penganan takjil memang menjadi daya tarik tersendiri pada sebagain orang. Bahkan mereka menilai aktivitas berburu takjil ini, sebagai bentuk keindahan toleransi. Padahal baru sebagian kecil ajaran Islam yang dapat mereka saksikan. Sementara ada banyak lagi syariat Allah SWT yang jika diterapkan seluruhnya secara kaffah, akan membuat mereka tercengang dan menikmati betapa kirananya Islam.
Tradisi Ramadan di Masa Kejayaan Islam
Jauh beratus tahun yang silam, pada masa kejayaan Islam, para khalifah meramaikan Ramadan dengan beragam aktivitas yang melibatkan masyarakat, seperti kajian ilmu dan aktivitas jihad. Sebagaimana dahulu di masa Bani Umawiyah, di Damaskus, Suriah, khalifah mengundang para alim ulama dan warga mengunjungi istana untuk mempelajari Islam.
Begitu pula Khalifah Walid bin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam. Ia mengundang para wali berkumpul di Masjid Al-Aqsha, juga ksatria muslim dari kalangan Arab, Berber dan lainnya, untuk menghadiri majelis-majelis ilmu selama bulan Ramadan. Walid memerintahkan Musa bin Musair, wali (gubernur)nya melakukan futuhat di Andalusia. Thariq bin Ziyad menjadi panglima perang kala itu, dengan membawa 15 ribu pasukan.
Tak jauh berbeda, Bani Abbasiyah pun memiliki tradisi mengisi Ramadan. Khalifah Al-Qadir Billah menyelenggarakan majelis ilmu di istana untuk berguru pada Imam Al-Harawi atau Abu Bisyr Ahmad Al-Harawi. Para ulama dan para qadi hadir di Kota Baghdad untuk membahas kitab yang ditulis oleh khalifah tentang bantahan terhadap kaum Mu’tazilah, serta kitab lain yang menerangkan perselisihan antara Abdul Azizi dan Bisyr Al-Marisi, di sepanjang Ramadan.
Setelahnya, terdapat pula majelis ilmu Mamluk, di Al-Kahiroh Mesir. Di istana Malik Al-Asyraf di Syam, setiap pekan sejak Rajab hingga Ramadan, dibahas kitab tulisan Khalifah Al-Qadir Billah yang dibacakan dan disyarah oleh Syaikh Syamsudin (cucu Imam Ibnul Jauzi), termasuk kitab Maqashid Ash-Shalah karya Imam Izzudin bin Abdissalam. Penyelenggaraan kajian ini, menjadi tradisi keilmuan Mamluk sebagaimana para khalifah sebelumnya.
Sedangkan Malik Sya’ban Bin Husayn Qalawun pada tahun 1363-1377 M, menyelenggarakan majelis ilmu untuk mengkaji Shahih Bukhari bersama pejabat istana sejak Rajab hingga Ramadan. Dihadiri oleh khalifah, para ulama, pejabat pemerintah, di Istana Qal’ah Jabal yang dibangun khalifah Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, dentuman meriam tempur dari benteng Anatolia Anadollu Hissari, yang ditembakkan saat tarhib Ramadan, merupakan penanda masuknya bulan Ramadan. Di Topkapi Sarayi, khalifah mengundang masyarakat (muslim dan nonmuslim) beserta para duta negara lain, untuk berbuka puasa. Hal ini merupakan salah satu langkah syi’ar Islam. Khalifah menjelaskan makna dan keistimewaan Ramadan, sembari mengadakan jamuan makan hingga akhir Ramadan, sebagai pintu hidayah, agar para duta dan warga nonmuslim melihat keindahan Islam.
Ifthar jamaiy oleh khalifah, dilakukan tanpa protokoler istana. Khalifah bertemu dengan rakyatnya, saling berinteraksi, dan mendoakan kebaikan. Tradisi ini disebut sebagai tradisi masabih murjaniyah. Tak ketinggalan para pasha dan pejabat negara, juga mengadakan jamuan makan bersama warga, di rumah kediaman masing-masing, di setiap senin dan jumat dengan mengundang pula para muqri’ untuk membacakan Al-Qur’an.
Demikian pula para warga, sebagaimana dicontohkan oleh khalifah dan jajarannya, mereka pun membuka pintu rumah masing-masing, agar siapapun, baik itu tetangga dan para musafir yang belum tiba di rumahnya, dapat ikut berbuka. Mereka saling berkirim makanan kepada karib kerabat dan tetangga.