Takwa Hakiki, Kembali kepada Aturan Ilahi
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita, saatnya merayakan kemenangan hari raya Idul Fitri dengan penuh kegembiraan ditambah kumandang takbir, tahlil dan tahmid serentak menggema di penjuru bumi. Seruan takbîr, tahlîl dan tahmîd adalah ungkapan syukur kita kepada Sang Pencipta karena kita telah selesai melaksanakan shaum Ramadhan sebulan penuh.
Dibalik kegembiraan merayakan hari raya Idul Fitri, ternyata masih ada saudara Muslim kita di belahan dunia lainnya tersiksa dan menderita. Di Irak dan Afganistan, mereka masih di bawah cengkeraman negara imperialis, Amerika dan sekutunya. Di Palestina, selama puluhan tahun hingga kini, tanah mereka dirampas dan diduduki oleh kaum Yahudi Israel. Mereka terus menerus menghadapi kekejaman negara zionis tersebut, termasuk sepanjang bulan Ramadhan. Begitu juga keadaan saudara-saudara kita di Cina, suku Uighur di Xinjiang menjadi korban kebrutalan suku Han yang didukung penuh oleh rezim Komunis. Di Myanmar Rohingya, Kashmir, Pakistan dan di negeri-negeri Muslim lainnya mengalami hal yang serupa.
Namun, ironisnya, para penguasa di negeri-negeri Muslim hanya bisa membisu seribu bahasa menyaksikan kebrutalan para penjajah, lebih parah lagi para antek penjajah ini malah lebih senang bermesraan dengan para pembunuh saudara Muslimnya sendiri.
Alhasil, di hari Raya Idul Fitri yang identik dengan hari kemenangan ini, justru kaum Muslim hidup dalam kekalahan hampir di semua lini kehidupan. Padahal kekalahan ini tidak semestinya diderita oleh kaum Muslim, karena seharusnya umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah).
Mengapa bisa terjadi? Inilah yang menjadi pertanyaan besar kita saat ini. Ternyata, tidak lain, karena umat Islam hari ini kehilangan ketakwaannya. Sesuai dengan yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, yang artinya, “Umat-umat hampir saja mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang yang kelaparan mengerumuni sebuah hidangan (lezat).” Lalu seseorang bertanya: “Apakah kami ketika itu sedikit?” Rasulullah menjawab: “Justru kalian ketika itu berjumlah banyak. Akan tetapi keadaan kalian seperti buih di tengah lautan. Allah benar-benar mencabut kehebatan kalian dari dada-dada musuh kalian dan Allah lemparkan ke dalam hati-hati kalian sifat Wahn.” Lalu orang tersebut bertanya lagi: “Wahai Rasulullah apakah Wahn itu?” Rasulullah menjawab: “(Wahn) adalah cinta dunia dan takut mati.” [Hadits Shohih Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul `Auliya (I/182)]
Sifat wahn inilah yang menjadikan kaum Muslimin kehilangan jati diri dan ketakwaannya. Mereka lebih mencintai dunia dan seisinya dibandingkan kecintaannya kepada sesama Muslim lainnya. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada takwa dalam diri mereka. Sehingga untuk mencapai kesenangan dunia, mereka rela menggadaikan agamanya sendiri. Jika sifat wahn ini terus menerus merasuki jiwa kaum Muslim, maka tunggulah kehancurannya.
Oleh karena itu, agar kaum Muslim tidak kehilangan jati dirinya dan kemenangan akan dapat diraih, maka mereka harus benar-benar mempunyai ketakwaan yang hakiki. Dan Shaum Ramadhan merupakan sarana yang dapat mengantarkan kaum Muslim menjadi pribadi-pribadi bertakwa. Hal tersebut dijelaskan dalam Firman Allah SWT yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 183).
Agar bisa menjadi Mukmin yang bertakwa, tidak hanya di bulan Ramadhan saja tapi di setiap waktu. Untuk menjadikan Muslim yang bertakwa, maka yang harus kita lakukan yaitu: Pertama, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan ibadah secara totalitas penghambaan hanya kepada Allah SWT semata dengan menjalankan seluruh syariah-Nya mulai dari ibadah yang berhubungan manusia dengan Penciptanya (seperti shalat, zakat, puasa, haji), ibadah yang berhubungan dengan diri sendiri (seperti makanan, pakaian, minuman, akhlak) dan melaksanakan juga ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia (seperti, muamalah, pendidikan, sistem pergaulan, sistem sanksi, sistem pemerintah yang di dalamnya membahas kewajiban khilafah).
Kedua, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan semua hukum Allah SWT, seperti hukum qishash. Firman Allah SWT yang artinya, “Di dalam hukum qishash itu terdapat kehidupan, wahai kaum yang berakal, agar kalian bertakwa (QS Al-Baqarah, 2: 179).
Saat ini, kaum Muslim tidak melaksanakan hukum-hukum Allah seperti qishash (hukuman mati bagi pembunuh) hudud ( hukuman yang menyangkut hak Allah) seperti cambuk/rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri. Hukum-hukum tersebut akan membuat orang takut dan jera untuk berbuat dosa.
Ketiga, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk hanya mengikuti jalan Islam. Sesuai firman Allah SWT yang artinya,” Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena bisa menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah kalian diperintahkan agar kalian bertakwa (QS al-An’am: 6: 153).
Namun, sangat disayangkan saat ini banyak yang mengakui sebagai seorang Muslim tapi hukum-hukum Allah tidak semuanya dilaksanakan. Mereka melaksanakan ibadah ritual (shalat, shaum, zakat dan haji) namun anehnya, dalam muamalah masih saja mereka menggunakan riba, dalam berpolitik dan pemerintahan, mereka masih mengambil hukum-hukum buatan manusia yaitu sistem demokrasi kapitalis. begitu juga dalam pendidikan pun mengacu Barat sekuler.
Ini semua akan menjauhkan kaum Muslim dari ketakwaan hakiki kepada Sang Ilahi. Takwa kepada Allah itu bukan hanya di bulan Ramadhan saja tapi selamanya. Takwa kepada Allah adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi yang dilarang-Nya. Takwa seperti inilah yang bisa menjadikan diri kita meraih kedudukan yang paling mulia di sisi Allah. Untuk mewujudkan ketakwaan yang hakiki, maka segeralah kita kembali kepada aturan Islam secara sempurna (Kaffah).
Namun, tidak cukup takwa individu saja, tapi masyarakat dan negara pun harus bertakwa. Ketakwaan individu, masyarakat dan negara bisa terwujud dengan menjadikan akidah Islam dan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan hidup. Hal ini hanya mungkin bisa diwujudkan dalam institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah. Institusi negara itu tidak lain adalah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.[]
Siti Aisyah
Aktivis Dakwah