Takziah kepada Non-Muslim: Antara Toleransi Sosial dan Prinsip Akidah

Selayaknya takziah diberikan kepada seluruh keluarga dan kerabat mayit, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun perempuan. Takziah boleh dilakukan sebelum maupun sesudah pemakaman, hingga batas waktu tiga hari. Namun, apabila orang yang bertakziah atau keluarga yang ditakziahkan tidak berada di tempat, maka tidak mengapa takziah dilakukan setelah lewat tiga hari.
Terkait waktu pelaksanaannya, mayoritas fuqahā (ahli fikih) berpendapat bahwa takziah yang paling utama adalah setelah pemakaman. Hal ini karena sebelum pemakaman, keluarga jenazah biasanya masih sibuk dengan urusan pengurusan mayit.
Selain itu, rasa sedih dan perasaan kehilangan justru lebih mendalam setelah prosesi pemakaman selesai, sehingga waktu tersebut dinilai lebih tepat untuk memberikan penghiburan dan dorongan kesabaran.
Meski demikian, jika tampak kesedihan yang sangat mendalam pada keluarga jenazah sebelum pemakaman, maka takziah dapat disegerakan untuk mengurangi beban kesedihan mereka. Adapun Imam Ats-Tsauri meriwayatkan pendapat berbeda, yakni bahwa takziah setelah pemakaman hukumnya makruh.
Pandangan Ulama tentang Takziah kepada Non-Muslim
Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan seorang muslim untuk bertakziah kepada kerabat atau tetangganya yang non-muslim. Menurut mazhab Syafi‘i dan sebagian riwayat dari Abu Hanifah, seorang muslim diperbolehkan untuk memberikan takziah kepada orang kafir (selain kafir ḥarbī), begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh bertakziah atas kematian orang kafir. Adapun dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal terdapat dua riwayat: sebagian melarang, dan sebagian lain memperbolehkannya.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang memperbolehkan adalah hadis riwayat Anas bin Malik r.a.
كانَ غُلامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النبيَّ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَمَرِضَ، فأتاهُ النبيُّ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقالَ له: أسْلِمْ، فَنَظَرَ إلى أبِيهِ وهو عِنْدَهُ فَقالَ له: أطِعْ أبا القاسِمِ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأسْلَمَ، فَخَرَجَ النبيُّ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ وهو يقولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الذي أنْقَذَهُ مِنَ النّارِ.
Ada seorang anak laki-laki Yahudi yang melayani Nabi Muhammad Saw.. Suatu ketika, anak itu sakit, lalu Nabi Saw. datang menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepalanya dan berkata, “Masuklah Islam.” Anak itu menoleh kepada ayahnya yang berada di sisinya, lalu ayahnya berkata kepadanya, “Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad) Saw.” Maka anak itu pun masuk Islam. Kemudian, Nabi Saw. keluar sambil mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka. (HR Al-Bukhari)
Berdasarkan hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa seorang muslim diperbolehkan memberikan takziah kepada non-muslim ketika mereka tertimpa musibah, menjenguk mereka saat sakit, serta menunjukkan simpati dalam kondisi tertentu.
Sementara itu, ulama yang melarang berdalil dengan hadis riwayat Abu Hurairah r.a.
لا تبدؤوهم بالسَّلام، وإذا لَقِيتُموهم في الطَّريقِ فاضطرُّوهم إلى أضيقِ الطَّريقِ
Janganlah kalian memulai salam kepada mereka, dan jika kalian bertemu mereka di jalan, maka desaklah mereka ke bagian jalan yang paling sempit. (HR. Abu Dawud).