Takziah kepada Non-Muslim: Antara Toleransi Sosial dan Prinsip Akidah

Ketentuan doa dalam takziah di atas tidak menyebutkan doa kebaikan ataupun keburukan kepada jenazah non-muslim. Hal ini disebabkan karena doa kebaikan seperti memohon ampunan dan rahmat tidak berhak diterima oleh mereka, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 113 Surah At-Taubah. Adapun doa keburukan seperti melaknat atau mendoakan azab bagi mereka juga tidak dianjurkan, sebab hal itu dapat menyakiti perasaan kerabat jenazah yang masih hidup, baik yang muslim maupun non-muslim.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah melewati kuburan Abu Uhaihah. Lalu Abu Bakar berkata, “Ini kuburan Abu Uhaihah si fasik.” Kemudian Khalid bin Sa‘id menimpali, “Demi Allah, aku tidak senang jika dia berada di ‘Illiyin (tempat tertinggi di surga), sedangkan dia sama seperti Abu Quhafah.” Maka Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal, karena kalian akan membuat orang-orang yang masih hidup menjadi marah.” (HR. Ibnu Asakir).
Relevansi Takziah dengan Kehidupan Sosial Umat Islam
Sebagaimana diketahui, dalam Islam non-Muslim (kafir) terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu murtad, ḏimmī, dan ḥarbī. Seorang Muslim hanya diperbolehkan menyampaikan takziah kepada non-Muslim ḏimmī. Namun, jika takziah kepada non-Muslim murtad atau ḥarbī dipandang dapat membuka jalan bagi mereka untuk tertarik kepada Islam, maka hal itu diperbolehkan sebagai bagian dari dakwah.
Dalam konteks kekinian, muncul pandangan baru mengenai isu takziah kepada non-Muslim. Hal ini berangkat dari realitas bahwa kaum Muslimin kini banyak hidup sebagai minoritas di negara-negara non-Muslim. Tidak ikut bertakziah kepada tetangga atau kolega non-Muslim dapat dipahami sebagai sikap permusuhan, yang berpotensi mendatangkan kerugian besar bagi dakwah Islam maupun bagi hubungan sosial. Selain itu, praktik saling menyampaikan belasungkawa juga telah menjadi kebiasaan antarnegara, terutama dalam peristiwa besar seperti bencana alam, wafatnya seorang presiden, atau musibah nasional lainnya.
Dengan pertimbangan inilah sebagian ulama kontemporer membolehkan seorang Muslim bertakziah kepada non-Muslim, namun tetap dengan batasan yang selaras dengan akidah Islam. Beberapa fatwa yang dapat disebutkan antara lain:
Fatāwā al-Lajnah al-Dā’imah li al-Buḥūṯ wa al-Iftā’: Takziah diperbolehkan jika bertujuan untuk menarik simpati terhadap Islam, karena hal itu termasuk bagian dari maqashid syariah.
Fatāwā Yordaniyā: Boleh bagi seorang Muslim untuk ikut serta dalam jenazah orang non-Muslim dengan syarat tidak ikut serta dalam ritual keagamaan mereka, tetap menjauh darinya, dan dengan syarat tidak menyertai jenazah tersebut hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, maka ketika itu haram mengikuti jenazah tersebut.
Kesimpulan
Takziah dalam Islam merupakan ibadah sosial yang hukumnya sunnah, dengan tujuan menghibur keluarga jenazah, mendorong kesabaran, dan mengingatkan bahwa segala urusan kembali kepada Allah SWT.
Para ulama sepakat tentang kesunnahannya, namun berbeda pendapat mengenai kebolehan takziah kepada non-Muslim. Sebagian memperbolehkan dengan batasan tertentu, sebagian melarang, sementara ulama kontemporer lebih cenderung membolehkannya demi menjaga hubungan sosial, khususnya ketika umat Islam hidup sebagai minoritas.
Dengan demikian, seorang Muslim diperbolehkan bertakziah kepada non-Muslim dalam rangka menjaga harmoni sosial dan membuka pintu dakwah, asalkan tetap berpegang pada akidah Islam, yaitu tidak mendoakan ampunan bagi jenazah mereka dan membatasi doa kepada kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan. Demikian, wallāhu a’lam.[]
Zuhaili Zulfa, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.