Tanah Terlantar Diambil Negara: Akankah Dikelola untuk Rakyat?

Pengelolaan Tanah dalam Perspektif Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang berorientasi keuntungan, Islam memandang tanah sebagai amanah yang harus dikelola demi kemaslahatan umat. Dalam khazanah hukum Islam, dikenal konsep ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati).
Rasulullah Saw bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari).
Kepemilikan tanah dalam Islam terbagi menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara. Negara tidak boleh menyerahkan lahan milik umum atau negara kepada individu atau swasta tanpa batas.
Tujuan pengelolaan tanah oleh negara dalam Islam adalah untuk menjaga keadilan, menyediakan ruang hidup, pangan, dan fasilitas dasar masyarakat. Islam bahkan menekankan bahwa tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut bisa diambil negara dan diberikan kepada orang yang bersedia mengelolanya.
Kebijakan ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, dan disepakati oleh para sahabat. Tapi pengambilalihan ini bukan untuk dijual atau diprivatisasi, melainkan untuk ri’ayah (pengurusan urusan umat).
Tanah Terlantar, Risiko Kezaliman Jika Salah Kelola
Kebijakan pengambilalihan tanah terlantar bisa menjadi peluang keadilan jika dijalankan dengan itikad memihak rakyat. Namun dalam sistem sekuler-kapitalistik saat ini, kebijakan itu rawan menjadi alat legalisasi monopoli lahan. Alih-alih digunakan untuk penyediaan lahan aktif bagi rakyat, tanah-tanah yang diambil justru dijadikan “komoditas murah” yang bisa diakses korporasi melalui program strategis, konsesi tambang, atau proyek infrastruktur. Hasilnya, bukan rakyat yang diuntungkan, melainkan oligarki.
Kebijakan negara mengambil tanah terlantar layak dikritisi secara mendalam. Bukan semata pada sisi legal proseduralnya, tetapi pada orientasi politik dan sistem ekonomi yang melandasinya. Selama sistem kapitalisme masih menjadi pijakan utama pengelolaan tanah, kesejahteraan rakyat akan tetap menjadi slogan tanpa realisasi.
Sudah saatnya kita berpikir lebih mendasar, Apakah mungkin menghadirkan keadilan agraria jika sistemnya masih berpihak pada pemodal, bukan pada rakyat? []
Putri Rahmahdika, Mahasiswa Universitas Padjadjaran