Tanggapi Mahfud MD, Direktur HRS Center: Islamofobia Terulang Kembali
Jakarta (SI Online) – Direktur Habib Rizieq Syihab Center (HRS Center), Abdul Chair Ramadhan, menanggapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan saat ini di Indonesia tidak ada lagi Islamofobia.
Abdul Chair mengatakan, ucapan Mahfud MD yang mengatakan “siapa bilang Pemerintah mendiskreditkan orang Islam, Presiden orang Islam, Pesantren disediakan dan dibuatkan undang-undangnya, mau naik Haji dilayani,” tidak menyentuh persoalan tentang adanya fakta Islamofobia.
“Apa yang disampaikan tersebut justru adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah yang memang harus dilakukan,” ungkap Abdul Chair Ramadhan dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 18 September 2020.
Baca juga: Mahfud MD Tolak Anggapan Pemerintah Saat Ini Idap Islamofobia
Ahli hukum pidana lulusan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng, itu membenarkan bahwa Islamofobia terjadi di zaman Belanda, karena orang Islam itu ditakuti dan disingkirkan dari pergaulan hidup bernegara. Namun, kata dia, hal itu kini terulang kembali.
“Jika pada masa penjajahan kolonial yang ditakutkan adalah pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani, kini kekhawatiran menunjuk pada penguatan perjuangan syariat Islam dalam legislasi nasional. Padahal perjuangan tersebut dilakukan secara legal konstitusional,” jelas pengurus Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat itu.
Abdul Chair menjelaskan, Islamofobia dalam sejarahnya di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Snouck Hurgronje melalui teori receptie. Yakni hukum Islam dapat diterima sepanjang hukum adat menerimanya. Jadi, hukum Islam selalu dihadapkan dengan adat (budaya).
“Kondisi saat ini menunjukkan hal yang sama. Adanya program Islam Nusantara menunjukkan keterhubungan Islamofobia masa lalu dengan masa kini. Terlebih lagi, dalam RUU HIP Ketuhanan YME hendak digantikan dengan Ketuhanan yang berkebudayaan,” kata dia.
Selain itu, UU Ormas telah menjadikan suatu paham/ajaran agama Islam sebagai paham/ajaran yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1946, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 4 huruf c. Adanya frasa “paham lain”, demikian multitafsir dan rawan disalahgunakan. Inilah sebab ajaran Khilafah dipersekusi.
“Di sisi lain, inisiator atau partai pengusul RUU HIP tidak dilakukan proses hukum. Ini adalah bentuk ketidakadilan,” kata Abdul Chair.
Abdul Chair juga mempertanyakan soal pernyataan Kepala BPIP bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama dan pernyataan Menteri Agama tentang ‘good looking’ yang dikaitkan dengan radikalisme yang jelas menyudutkan Islam. “Apakah itu bukan Islamofobia?,” tanya dia.
red: shodiq ramadhan