Tata Kelola Tanah Terlantar dalam Islam

Rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengambil alih paksa tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang tak dimanfaatkan selama dua tahun menuai kritikan dari pengamat.
Pasalnya, pemerintah dinilai belum memiliki kerangka rencana yang jelas mengenai pemanfaatan lahan-lahan terlantar tersebut. (Bloomberg Technoz, Jakarta, Juli 2025).
Banyaknya tanah terlantar dalam sistem sekuler kapitalisme merupakan hal yang wajar terjadi, sebab sistem sekuler kapitalisme menjadikan tanah sebagai komoditas bukan amanah publik.
Karenanya banyak pemilik tanah yang menjadikan tanah sebagai aset simpanan tanpa beban pengelolaan. Artinya tanah dimiliki tanpa adanya aktivitas pengelolaan, jadilah tanah terlantar.
Melihat masalah tersebut, negara dalam sistem sekuler kapitalisme mengambil solusi yang melahirkan masalah baru, yaitu mengambil tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan dan tidak dikelola pemiliknya untuk kemudian menjadi aset milik negara dan dijadikan sebagai komoditas miliknya.
Alhasil, tanah yang disita atau diambil oleh negara, pemanfaatan dan peruntukannya disinyalir bukan untuk kemaslahatan publik, sebab saat tanah dipandang oleh negara sebagai komoditas bukan amanah rakyat, maka ada peluang bagi negara untuk memperjualbelikannya kepada pihak yang dikehendakinya, bahkan kepada para investor asing, demi mendapatkan keuntungan dari penjualan komoditas yang dimilikinya.
Jadilah rakyat dengan penderitaannya. Pemilik tanah berkurang tanahnya akibat penelantaran yang dilakukannya. Yang tidak memiliki tanah tetap dengan ketidakpunyaannya, sebab tidak ada jaminan mekanisme pemberian tanah dari negara kepada rakyatnya secara gratis atau cuma-cuma. Negara dalam sistem sekuler kapitalisme menjadikan tanah hanya sebagai komoditas yang diperjualbelikan bahkan kepada rakyatnya sekalipun, tentu saja tidak akan lepas dari hitungan untung rugi, ala sekuler kapitalisme.
Berbeda dengan sistem Islam, memiliki seperangkat aturan yang sangat jelas terkait dengan tata kelola tanah-tanah terlantar, dengan aturan yang sangat manusiawi, sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Hal pertama terkait dengan tanah adalah kewajiban pemilik tanah untuk mengelola atau menggarap tanah miliknya. Jika ia tidak mau mengelolanya, maka negara akan mengambilnya untuk kemudian dibagikan kepada kaum muslimin untuk dikelola. Bisa dijadikan sebagai lahan pertanian, perkebunan, atau bahkan untuk membuka usaha lahan parkir kendaraan.
Dikisahkan Bilal bin al-Harits al-Muzani pernah diberikan sebidang tanah yang amat luas oleh Rasulullah Saw, karena ia memintanya. Kemudian setelah Rasulullah Saw wafat, dan kepemimpinan kaum muslimin berada ditangan Amirul mukminin Umar bin Khattab ra, dan Umar bin Khatab ra melihat jika Bilal bin al-Harits al-Muzani menelantarkan tanah yang diberikan Rasulullah saw kepadanya, maka Umar bin Khattab ra pun mengambilnya dan menyerahkan kepada kaum muslimin untuk mengelolanya.