RESONANSI

Tawarruq: Antara Gorengan dan Jalan Transisi

Kritik Ryan Calder dalam The Paradox of Islamic Finance mengangkat fenomena tawarruq sebagai “paradoks” industri keuangan syariah.

Praktiknya di banyak negara (Malaysia, Kuwait, hingga Indonesia) sering dianggap tidak lebih dari “seni menggoreng bunga bank”: pinjam Rp100 juta, kembalikan Rp120 juta, hanya saja akadnya lebih panjang dan istilahnya Arab.

Kritik ini cepat populer karena publik menemukan kesamaan antara cicilan bank syariah dan bunga bank konvensional.

Analisis

  1. Dimensi Fiqh
  • Tawarruq adalah akad jual beli yang sah menurut sebagian ulama, diperdebatkan oleh sebagian lain, dan dilarang bila jatuh pada hilah (rekayasa).
  • Artinya, tawarruq bukan sekadar “trik ganti label”, tetapi bagian dari khazanah fiqh yang punya dasar, walaupun statusnya tidak sekuat murabahah atau musyarakah.
  1. Dimensi Industri
  • Implementasi tawarruq di perbankan sering bersifat administratif, barang tidak berpindah riil, tujuan utama tetap memperoleh uang tunai.
  • Di sinilah muncul “paradoks”: fiqh-nya sah, tetapi praktiknya kehilangan ruh syariah.
  1. Paradoks Praktis
  • Skema bagi hasil (mudharabah/musyarakah) yang sesuai maqashid sering dihindari karena berisiko tinggi dan tidak pasti.
  • Sebaliknya, tawarruq lebih cepat, praktis, dan stabil, meskipun secara substansi mirip bunga.
  1. Dimensi Sosial-Politik
  • Publik di Indonesia terbiasa dengan permainan label: “pungutan” disebut “kontribusi”, “kenaikan harga” disebut “penyesuaian”, dan “bunga” disebut “margin murabahah”.
  • Hal ini memperkuat persepsi bahwa bank syariah hanyalah “gorengan” dari bank konvensional.

Implikasi

  • Risiko kepercayaan: bila publik merasa bank syariah hanya kosmetik, maka reputasi industri bisa runtuh.
  • Risiko maqashid: syariah hanya berhenti pada legal-formal, belum menghadirkan keadilan, keberkahan, dan berbagi risiko yang sejati.
  • Risiko stagnasi: tanpa inovasi, industri akan terus bergantung pada akad “aman” namun miskin substansi.

Rekomendasi

  1. Perkuat maqashid dalam regulasi
    → Fatwa dan kebijakan perlu menekankan substansi (bebas riba, adil, berpihak pada masyarakat), bukan sekadar kepatuhan formal.
  2. Dorong inovasi risk sharing
    → Kembangkan produk berbagi hasil yang transparan dan berbasis teknologi (misal: fintech syariah dengan smart contract) agar risiko bisa dikelola lebih efektif.
  3. Tingkatkan transparansi praktik
    → Pastikan perpindahan aset nyata (meski digital) dan edukasi nasabah agar memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan.
  4. Komunikasi publik yang jujur
    → Hindari jargon berlebihan. Akui bahwa sebagian produk masih transisi, sambil menunjukkan roadmap menuju sistem syariah yang lebih substansial.

Penutup

Tulisan satir tentang “seni menggoreng bunga bank” sebenarnya bukan ancaman, melainkan cermin. Ia mengingatkan bahwa industri perbankan syariah jangan berhenti di level kosmetik. Tawarruq bisa dipahami sebagai gorengan pragmatis hari ini, tetapi juga bisa dijadikan jalan transisi menuju sistem keuangan syariah yang lebih murni.

Dengan penguatan maqashid, inovasi berbagi hasil, dan komunikasi jujur kepada umat, bank syariah dapat bergerak dari sekadar “gorengan” menuju “hidangan sehat” yang benar-benar menyehatkan ekonomi dan keberkahan umat.

Dr. Firmanullah Firdaus, S.E., M.Kom., C.W.C

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button