Tegas tapi Penuh Cinta: Kunci Parenting Nabi Ibrahim as

Di tengah derasnya arus gaya parenting modern dari yang serba permisif hingga yang keras tak bertepi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam hadir sebagai teladan abadi. Ia mendidik anak bukan sekadar untuk sukses dunia, tapi untuk selamat di akhirat. Rahasianya? Tegas dalam prinsip, lembut dalam sentuhan hati.
Ketika mendapat perintah Allah untuk menyembelih Ismail, Nabi Ibrahim tidak berkata, “Ini perintah, patuhi!”. Sebaliknya, beliau membuka dialog: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” (QS. As-Saffat: 102)
Imam al-Qurthubi menafsirkan, ini adalah puncak kebijaksanaan parenting mengajak anak berbicara, menghargai pendapatnya, bahkan dalam urusan yang amat berat.
Bagi Nabi Ibrahim, ketegasan adalah soal konsistensi menjalankan perintah Allah, bukan menegakkan kehendak pribadi.
Ismail menjawab dengan kelembutan penuh cinta: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102)
Panggilan “ya abati” (wahai ayahku) menunjukkan hubungan emosional yang hangat. Anak yang merasa dicintai akan menaati dengan ikhlas, bukan karena takut.
Doa Nabi Ibrahim mengungkap prioritasnya: “Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan salat…” (QS. Ibrahim: 40)
Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan, bekal utama yang diberikan Nabi Ibrahim kepada anaknya adalah akidah yang lurus. Bahkan saat meninggalkan Hajar dan Ismail di tanah gersang, beliau tetap memohon agar mereka teguh dalam ibadah (QS. Ibrahim: 37).
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan: anak akan lebih terpengaruh oleh keteladanan orang tua daripada kata-kata mereka. Nabi Ibrahim menanamkan nilai dengan memberi contoh nyata, bukan hanya instruksi.
Pola asuh Nabi Ibrahim memberi jalan tengah:
- Komunikasi terbuka sebagai fondasi keluarga.
- Tauhid sebagai prioritas, bukan sekadar ranking akademik.
- Kemandirian spiritual agar anak taat kepada Allah, bukan sekadar kepada orang tua.
- Prinsip yang kokoh, dibungkus kelembutan hati.
Hubungan Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya hubungan darah, tapi ikatan iman dan cinta ilahiyah. Dari didikan ini lahirlah generasi nabi kuat, sabar, dan setia pada tauhid.
Jika kita ingin membangun generasi tangguh di era yang penuh godaan ini, maka resepnya sudah ada sejak ribuan tahun lalu: Didik dengan cinta, tegakkan prinsip dengan iman.
“Sungguh telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya…” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Fakhurrazi Al Kadrie, S.H.I, M.Pd., Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.