Teladan Kepemimpinan Mohammad Natsir
Sebelum Natsir pergi ke Rahmatullah –saat tokoh besar ini dirawat di RSCM beberapa bulan- Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia saat itu terus mengadakan konsolidasi. Tiga tokoh saat itu memimpin bersama. Dr Anwar Harjono, HM Yunan Nasution dan H Buchari Tamam. Kepemimpinan akhirnya diamanahkan kepada Anwar Harjono setelah Natsir wafat.
Pak Anwar Harjono dalam artikelnya di Edisi Khusus itu menulis dengan judul: “Seorang Pejuang Telah Berpulang (Bapak Mohammad Natsir).” Ia pertama-tama menceritakan tentang saat-saat menjelang tokoh besar itu wafat. Dimana para sahabat dekat dan keluarga berkumpul di samping ranjang Pak Natsir yang saat itu dalam keadaan kritis. Beliau saat itu sudah tak sadarkan diri. Di dekat telinganya dibisikkan kalimat tauhid untuk mengiringi ruh yang sedang berjalan meninggalkan jasadnya memenuhi panggilan dari Yang Maha Kuasa, Allah SWT.
Tepat jam 12.10, pejuang besar ini menghembuskan nafas terakhirnya. Suasana yang tadinya hening menjadi sedikit riuh. Isak tangis, terutama dari keluarga terdengar lirih. Awan pun mendung di luar seakan-akan ikut bersedih. Dari RSCM, jenazah almarhum kemudian dibawa ke rumahnya, jalan Cokroaminoto 46, Jakarta. Keluarga Dewan Dakwah Kramat Raya 45 pun segera menyampaikan kabar duka cita itu ke sahabat, kenalan, atau tokoh baik di dalam negeri maupun luar negeri. Para pelayat datang ke markas Dewan Dakwah dan ke rumah almarhum.
Esok harinya, Ahad 7 Februari 1993 jenazah Pak Natsir dimakamkan. Ia dimakamkan berdampingan dengan makam istrinya di Pemakaman Karet, Kuningan. Hari dimakamkannya almarhum, Jakarta seharian penuh diiringi hujan lebat luar biasa. Seakan-akan alam turut berduka dengan kepergian tokoh Islam Indonesia dan dunia ini. Tetapi hujan lebat itu tidak banyak mempengaruhi para pelayat untuk bertakziyah atau mengiringi jenazah almarhum.
Ucapan-ucapan ikut berduka cita berdatangan, sejak dari Presiden, Wakil Presiden sampai masyarakat luas yang tak dapat hadir langsung. Begitu juga dari luar negeri. Selain ucapan ikut berduka cita, juga ada yang sengaja datang langsung dari Malaysia dan Serawak. Mantan Perdana Menteri Jepang, Tuan Takeo Fukuda, selain mengucapkan bela sungkawa, juga mengirimkan utusan khusus untuk bertakziyah kepada keluarga dan Dewan Dakwah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, KH Azhar Basyir termasuk rombongan pentakziyah yang paling awal. Ia tampak berlinangan air matanya. Ketika sejumlah wartawan meminta pendapatnya tentang Pak Natsir, Azhar Basyir nyaris tidak bisa berbicara. Telunjuknya menunjuk-nunjuk ke atas. “Kita kehilangan seorang pemimpin yang hidupnya hanya diabadikan kepada Allah SWT,” ujarnya sambil terisak-isak.
Seluruh jalur lambat dan sebagian jalur cepat dari perempatan Rivoli sampai kantor Polisi di Jalan Kramat Raya, sepanjang kurang lebih 500 meter, dipenuhi mobil para pengantar. Sementara halaman parkir Masjid al Furqan, Xerox, PMI dan Muhammadiyah pun dipadati mobil jamaah pentakziyah. Masjid al Furqan yang dalam kondisi normal mampu menampung 1000 jamaah, hari itu terasa terlampau sempit. Shalat jenazah, dilaksanakan dalam tiga gelombang.
Di Yogyakarta digelar dua acara. HMI setempat menyelenggarakan ‘Malam Renungan dan Doa bagi Pak Natsir’. Sedang Jamaah Shalahuddin Universitas Gajah Mada menggelar diskusi ‘Mengenang Mohammad Natsir 1908-1993’ dengan empat panelis. Di akhir acara, Jamaah Shalahuddin mengusulkan kepada pemerintah agar menganugerahkan Pahlawan Nasional kepada Pak Natsir. Usul serupa juga datang dari Perhimpunan Mahasiswa Islam Bandung. (Akhirnya 15 tahun kemudian tahun 2008, di masa Presiden SBY, pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Mohammad Natsir).
Jasa Natsir terhadap bangsa ini sangat besar. Pak Natsir berjasa dalam mencarikan hubungan yang tegang antara Indonesia dengan Malaysia (sejak Soekarno melancarkan politik konfrontasi dengan Malaysia). Ia juga berperan besar dalam mencarikan bantuan ke Jepang dan Kuwait , ketika Presiden Soeharto berada dalam kondisi sulit keuangan negara. Ia membantu dengan ikhlash, tanpa minta imbalan. “Dia cuma mau memberi. Dan memberi. Pernah dalam suatu kesempatan, pada waktu pemerintah Indonesia memutuskan hubungan pemberian bantuan Belanda dalam rangka IGGI sehubungan dengan peristiwa Dili, Timor Timur, beliau memanggil kawan-kawannya, minta dipikirkan apa akibatnya pemutusan bantuan itu. Bahkan ditanyakan, apakah kita tidak dapat membantu memikirkan alternatifnya. Ada yang bertanya kalau kita mau membantu pemerintah, apa imbalan yang kita dapat? Suatu pertanyaan wajar dalam dunia politik. Beliau waktu itu tidak menjawab langsung. Beliau hanya tersenyum,” kenang Pak Anwar.
Menurut Anwar Harjono, almarhum termasuk salah seorang yang paling vokal menentang gagasan demokrasi terpimpin dengan kabinet kaki empatnya, yakni Masyumi, PNI, NU dan PKI. Andaikata saja, pendapat-pendapatnya diterima atau setidak-tidaknya tidak ditolak apalagi dengan kekerasan, maka demokrasi di Indonesia akan tetap berjalan sebagai dikehendaki Undang-Undang Dasar. “Tidak akan ada PRRI. Tidak aka nada jugaasi di Indonesia akan tetap berjalan sebagai dikehendaki Undang-Undang Dasar. “Tidak akan ada PRRI. Tidak akan ada juga G G30S PKI dan seterusnya. Itu hanya sekelumit saja. Itupun hanya mengandai-andai. Padahal hidup tidak mengenal berandai-andai,”tulisnya.
Peran besar yang ditorehkan Pak Natsir kepada bangsa ini juga diantaranya adalah mengantarkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (proklamasi kedua). Mosi integral Natsir ini berhasil menyatukan kembali wilayah-wilayah Indonesia yang terpecah-pecah akibat pembentukan negara Republik Indonesia Serikat, pada Juli 1949. Natsir saat itu sebagai Ketua Partai Masyumi, melobi tanpa kenal lelah fraksi-fraksi yang ada di parlemen. Natsir akhirnya berhasil dan pemerintah RI mengumumkan resmi kembali ke NKRI pada 17 Agustus 1950.
Masalah agresivitas penyiaran pemeluk agama lain kepada umat Islam, juga menjadi perhatian yang besar dari Pak Natsir. Sehingga Pak Natsir menyuruh langsung kepada jajaran Media Dakwah untuk memberi rubrik baru di media itu dengan nama Fakta dan Data. Pak Natsir sendiri mengalami agresivitas itu, ketika dalam kondisi sakit parah di RSCM.
Peristiwa itu terjadi pada hari Jumat 29 Januari 1993 di sekitar pukul 12.15 (waktu shalat Jumat). Dalam keadaan sakit payah itu, dibacakan doa Kristen menghadapi orang yang akan meninggal oleh salah seorang dokter rumah sakit. Peristiwa itu langsung dilaporkan kepada Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan oleh keluarga disampaikan kepada Dewan Dakwah. Direktur RSCM akhirnya mengambil tindakan tegas kepada dokter itu.
***