QUR'AN-HADITS

Terapi Burnout Berbasis Spiritualitas Qur’ani

Fenomena burnout semakin banyak dialami oleh mahasiswa, terutama di tengah tekanan akademik, tuntutan sosial, dan kecemasan akan masa depan. Kelelahan mental dan emosional ini tidak hanya mengganggu produktivitas, tetapi juga merusak kualitas hidup dan hubungan individu dengan dirinya sendiri.

Burnout sering kali muncul saat seseorang kehilangan makna dalam aktivitas yang dijalani, merasa hampa, atau tidak lagi memiliki motivasi batiniah.

Dalam perspektif Islam, krisis semacam ini tidak hanya dipandang sebagai gangguan psikologis, tetapi juga sebagai lemahnya dimensi spiritual dalam diri manusia.

Al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap kesehatan jiwa melalui pendekatan iman, amal saleh, dan hubungan dengan Allah.

Salah satu ayat yang memuat pesan pemulihan spiritual adalah Surah An-Nahl [16]: 97, yang menjanjikan ḥayatan ṭayyibah (kehidupan yang baik) bagi orang beriman dan beramal saleh.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan tayyibah), dan sesungguhnya Kami akan beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Ayat ini membuka ruang bagi pendekatan terapi berbasis spiritualitas Qur’ani, di mana pemulihan dari kelelahan batin dimulai dari membangun kembali makna hidup, ketenangan jiwa, dan orientasi amal.

Kajian Penafsiran

Fokus utama Surah An-Nahl ayat 97 dari tema pembahasan ini terletak pada frasa حَيَاةً طَيِّبَةً (hayatan tayyibah), yang berarti “kehidupan yang baik”.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, makna tersebut menggambarkan kondisi hidup yang berbeda dari kebanyakan orang. Kehidupan yang dimaksud bukanlah kemewahan tanpa ujian, melainkan hidup yang diliputi rasa syukur atas nikmat Allah dan kesabaran dalam menghadapi cobaan.

Ia juga menegaskan bahwa hayatan tayyibah mencakup ketenteraman batin, kepuasan diri, optimisme, dan kedamaian jiwa—semua itu merupakan kebutuhan dasar manusia, terutama dalam menghadapi tekanan hidup. Oleh karena itu, keimanan dan amal saleh berperan sebagai pondasi spiritual yang menghasilkan rasa cukup, meski secara materi kehidupan terlihat sederhana. Dalam konteks burnout, tafsir ini menekankan pentingnya spiritualitas dan pencarian makna sebagai sarana pemulihan jiwa (Shihab, 2002: 342–343, 420).

Sementara itu, Ibnu Katsir memaknai hayatan tayyibah sebagai kehidupan yang sejahtera dan hati yang tenteram. Ia menjelaskan bahwa Allah menjanjikan ketenangan dan kecukupan kepada orang-orang yang beriman, baik dalam kondisi susah maupun senang. Pandangan ini mendukung konsep terapi spiritual dalam Islam, di mana burnout dapat diredakan melalui hubungan yang erat dengan Allah dan konsistensi dalam amal saleh. Dengan menjalankan syarat dari ayat ini, seseorang dapat mengupayakan ketenangan jiwa sebagai bentuk ikhtiar spiritual (Ibnu Katsir, 2000: 601).

Dalam Fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutb menafsirkan kehidupan yang baik sebagai hidup yang penuh makna, jiwa yang bersih, bebas dari beban mental, serta hubungan yang intim dengan Allah. Menurutnya, keimanan membawa ketenangan dan kekuatan dalam menghadapi ujian, sedangkan amal saleh memberi kehidupan nilai dan produktivitas. Tafsiran ini sangat relevan sebagai dasar terapi Qur’ani dalam menangani kelelahan psikologis dan krisis eksistensial (Qutb, 2003: 212).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button