SUARA PEMBACA

Terinfeksi Pornografi, Kejahatan Anak Makin Menjadi

Perilaku generasi muda makin mengkhawatirkan saja. Membuat masyarakat makin mengelus dada. Remaja bahkan anak-anak makin terjerumus dalam jurang dosa. Tidak hanya terjerat dalam pusaran pergaulan bebas, narkoba, judi online, dan tawuran, tetapi juga terinfeksi pornografi yang berujung kejahatan. Bagaimana masa depan bangsa ini jika generasi mudanya terus dibombardir pornografi yang merusak akal dan memunculkan berbagai tindak kejahatan?

Terungkapnya kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswa SMP berinisial AA (13) yang terjadi di tempat pemakaman umum (TPU) Tionghoa di Palembang, Sumatra Selatan masih menjadi sorotan. Kasus ini menyita perhatian publik karena para pelakunya yang masih di bawah umur. Kapolrestabes Palembang, Kombes. Pol. Harryo Sugihartono, mengungkapkan bahwa pembunuhan dan pemerkosaan terhadap AA dilakukan oleh empat tersangka yang masih di bawah umur, yakni IS (16), MZ (13), MS (12), dan AS (12).

Mirisnya, berdasarkan penyelidikan psikologi biro SDM Polda Sumsel, para tersangka tersebut mengaku melakukan pemerkosaan terhadap AA untuk menyalurkan hasrat birahinya usai menonton video porno. IS, pelaku utama kasus ini juga mengaku sempat menonton film tersebut sebelum memerkosa dan membunuh korban. (Liputan6.com, 06/09/2024).

Sungguh menyedihkan, anak-anak yang seharusnya berada pada masa bermain dan belajar justru menjadi pelaku kejahatan karena terinfeksi pornografi. Fitrah anak yang sejatinya berada dalam naungan kebaikan pun rusak akibat mengonsumsi pornografi. Generasi bangsa yang digadang-gadang menjadi pemimpin masa depan, justru terjerumus ke dalam jurang dosa dan maksiat.

Tampak nyata bahwa pornografi sebagai masalah genting generasi saat ini justru kurang mendapatkan perhatian serius dari negara. Padahal tidak sedikit data yang mengungkapkan dahsyatnya paparan pornografi terhadap remaja dan anak. Hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati Jakarta terhadap 2.594 anak kelas 4, 5, dan 6 sekolah dasar di Jabodetabek dan Kepulauan Riau pada 2017 menyebutkan bahwa 98 persen anak pernah melihat konten pornografi yang sebagian besar diakses melalui telepon genggam.

Data tersebut mencatat bahwa dari 2.594 anak tersebut 19 persen mengakses konten film porno; 17 persen mengakses video porno; 13 persen mengakses games bermuatan porno; 13 persen mengakses komik online bermuatan porno; dan 12 persennya mengakses situs porno. (antaranews.com, 21/01/2017).

Kasus AA menambah daftar panjang bukti bahwa pemberantasan pornografi nyata belum menyentuh akar persoalan. Pemerintah seolah tarik-ulur dalam menuntaskan kasus pornografi. Meskipun pemerintah telah menutup ratusan bahkan ribuan situs porno, konten pornografi terus saja bermunculan karena lemahnya sanksi yang diberikan.

Sungguh miris, bisnis pornografi seolah menjadi gurita di tengah rimba media sosial. Konten berbau pornografi pun menjadi lumrah dikonsumsi generasi muda. Padahal pornografi memiliki efek dahsyat untuk menghancurkan akal dan memicu kejahatan.

Pakar parenting dan psikolog anak dari Yayasan Kita dan Buah Hati Jakarta, Elly Risman, Psi., mengungkapkan bahwa pornografi memiliki dampak yang sangat buruk secara psikologis dan kesehatan, terutama pada anak dan remaja. Efek candu akibat pornografi sama bahayanya dengan efek candu akibat narkoba dan alkohol, bahkan cenderung lebih sulit untuk disembuhkan.

Ia juga mengatakan bahwa kerusakan akibat pornografi dapat merusak bagian Pree Frontal Cortex (PFC) otak yang merupakan pusat nilai, moral, tempat di mana merencanakan masa depan, dan tempat mengatur manajemen diri. Bagian inilah yang menentukan jadi apa seorang anak nanti. Karena inilah PFC juga disebut sebagai direktur yang mengarahkan kita.

Sungguh menyedihkan, andai generasi muda bangsa ini hilang arah untuk menentukan masa depan akibat kecanduan pornografi. Alih-alih membangun masa depan, justru menjadi biang kejahatan dan segunung masalah. Bukti bahwa sistem yang menaunginya bukanlah sistem yang sahih dalam menuntaskan seluruh problematika kehidupan.

Ya, paradigma sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan sukses membelenggu generasi muda dalam pusaran kebebasan. Paham kebebasan menjadi senjata bagi generasi muda untuk bertindak bebas bahkan kebablasan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button