Teruslah Haus Akan Ilmu
Penafsiran menurut Ulama Tafsir
Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi (Imam Jalalain), Allah menurunkan ayat ini (QS. Al-Kahfi [18]: 109) untuk membantah perkataan orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan ilmu yang banyak juga kitab taurat, dan mereka beranggapan bahwa orang yang mendapatkan kitab itu adalah orang-orang yang punya banyak kebaikan.
Kejadian ini berawal dari orang-orang Quraisy yang melontarkan pernyataan kepada orang-orang Yahudi untuk memberikan pertanyaan ke Nabi Muhammad Saw. Orang-orang Yahudi itu melontarkan tanya mengenai roh, yang mana firman Allah (QS. Al-Isra’ [17]: 85) juga turun untuk menjawab hal itu yang pada hakikatnya mereka hanyalah manusia yang diberi pengetahuan secara terbatas, sedangkan urusan mengenai roh adalah urusan Allah.
Maka ketika itu pula mereka menyatakan kesombongannya mengenai keilmuan yang mereka peroleh dari cara mereka sendiri. Dan kata مَدَدًا (sebagai tambahan tintanya) dalam ayat ini (QS. Al-Kahfi [18]: 109) diartikan bahwa dengan tambahan pun, tinta itu akan habis juga.
Disini, Allah menegaskan bahwa ilmu Allah itu luas dan tidak akan pernah ada habisnya, yang mana jika lautan itu habis meskipun terus ditambahkan dengan yang sejenisnya untuk diumpamakan sebagai tinta, maka tetap akan terus habis. Sedangakan tinta adalah sesuatu yang dipergunakan untuk tulis menulis, yang mana jika tinta itu habis, maka akan diperlukan ising ulangnya untuk meneruskan tulisan yang dibuat dan dari tulis menulis itulah awal mula dari ilmu itu terbentuk, karna ilmu itu didasari dengan tulisan.
Sedangkan menurut Imam Ibnu Katsir, Allah telah menyampaikan maksud dari ayat ini melalui Nabi-Nya, yang mana Allah mengatakan bahwa; seandainya perumpamaan laut itu dijadikan sebagai tinta, maka tinta itu akan menjadi pena guna untuk mencatat semua kalimat-kalimat Allah serta ayat-ayat yang menunjukkan atas kuasa-Nya. Dan seharusnya lautan itu akan habis sebelum penulisan akan catatan itu selesai.
Hal itu dimaksudkan bahwa ilmu Allah luas, dan perumpamaan seluas lautan pun akan habis, bahkan jika ditambahkan dengan sesuatu hal yang serupanya atau sejenisnya untuk dijadikan sebagai tinta pun akan tetap habis. Sebagaimana penggalan ayat وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ (Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)), yang mempertegas bahwa ‘Tinta yang sebanyak lautan itu, kemudian ditambahkan lagi hal yang semisal dan seterusnya demikian, lautan tinta demi lautan tinta, tentulah kalimat-kalimat Allah tidak ada kunjung habisnya’ (Tafsir Ibnu Katsir).
Pada hakikatnya, ilmu itu dicari, bukan ilmu yang mencari kita. Karna tuntunan dan tatanan kehidupan, berdasarkan dari ilmu yang diperoleh. Akhirat yang baik diperoleh dari keimanan serta ketakwaan semasa hidupnya di dunia, dan akhirat yang baik itu ditempuh dari perjalanan dunianya.
Jika semasa hidupnya seorang muslim meningkatkan iman dan takwanya kepada Allah, maka akhiratnya pun akan baik. Begitu pula dengan ilmu, yang juga harus dilandasi iman agar dapat membedakan mana yang salah dan benarnya, dan mana yang baik dan buruknya. Wallahu‘alam. []
Putri Ayu Arifah SC, Mahasiswi Universitas PTIQ, Jakarta Selatan