INTERNASIONAL

The New York Times Lakukan Jurnalisme Genosidal

Namun ini bukan hanya soal bom. Kelaparan paksa juga merupakan bentuk genosida. Dalam kaitan itu, pertanyaan lain yang bisa dijawab Stephens: bagaimana mungkin secara sengaja mengebiri akses pangan dan air bagi dua juta manusia—kebutuhan dasar untuk bertahan hidup—tidak dianggap sebagai “niat untuk memusnahkan” kelompok tersebut. Hanya kemarin saja, pejabat kesehatan Gaza melaporkan sedikitnya 15 warga Palestina meninggal karena kelaparan, termasuk empat anak.

Sejak akhir Mei, lebih dari 1.000 warga Palestina juga tewas saat mencoba mendapatkan makanan dari apa yang disebut Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Lembaga iblis ini, yang didukung Israel dan AS, bukan hanya mengumpulkan sejumlah besar warga Palestina yang kelaparan di satu lokasi agar lebih mudah “di-sabit” oleh tentara Israel, tetapi juga mendorong visi Israel—yang disokong AS—untuk secara paksa mengusir populasi Palestina yang masih hidup.

Memang, Stephens sudi menyebut “sistem distribusi pangan yang kacau” di Gaza, tetapi ia bersikukuh bahwa “skema kemanusiaan yang berantakan, atau serdadu yang gatal menarik pelatuk, atau serangan yang mengenai sasaran salah, atau politisi [Israel] yang melontarkan cuplikan balas dendam” sama sekali “tidak mendekati genosida.”

Namun dalam perangnya melawan penggunaan kata “genosida” di konteks Gaza, Stephens menolak mengakui bahwa Israel sendiri sejak awal merupakan sebuah proyek genosidal. Para Zionis sudah paham perlunya menyingkirkan mayoritas penduduk Pribumi Palestina bahkan sebelum pembentukan resmi negara Israel di tanah Palestina pada 1948—proses yang mencakup pembunuhan massal dan penghancuran ratusan desa. Sekitar tiga perempat juta orang menjadi pengungsi.

Sejak saat itu, Israel terus berjalan di atas landasan yang pada dasarnya genosidal—berupaya “melenyapkan” orang Palestina secara fisik maupun konseptual—sebagaimana tercermin dalam pernyataan terkenal mantan Perdana Menteri Israel Golda Meir bahwa orang Palestina “tidak ada”.

Kenyataannya, keberadaan Israel sebagai negara pemukim kolonial Yahudi bertumpu pada “niat untuk memusnahkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial, atau agama, sebagai kelompok tersebut.”

Tapi sudahlah, lupakan sejarah dan realitas. Stephens memperingatkan kita bahwa, jika kata genosida “ingin tetap berstatus sebagai kejahatan yang unik mengerikan, maka istilah itu tidak boleh digunakan sembarangan untuk situasi militer apa pun yang tidak kita sukai.”

Berbicara soal “serampangan”, militer Israel sejak lama “seranjang” dengan The New York Times dan beragam media korporat AS lainnya, yang berupaya sekuat tenaga membersihkan kebiadaban Israel sebagai tindakan bela diri. Namun sementara Israel terus melakukan kejahatan yang secara unik mengerikan di Gaza—dengan dukungan kuat sang adidaya global—jurnalisme genosidal ala Stephens juga secara unik mengerikan. []

Nuim Hidayat
Sumber: AL JAZEERA

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button