“The Three Musketeers Party”
Tetapi, bagaimana pun sehebat, sekuat dan semumpuninya kelembagaan suatu partai politik itu, yang takkan terlepas dan tidak boleh dipandang sepele, adalah memaknai dan mengartikulasikan sifat, sikap, watak dan karakter ketokohan dari para pemimpinnya yang mengendalikan komitmen, konsistensi, responsibilitas dan kapabilitas kepemimpinan menakhodai kelembagaan partai itu.
Seperti ditunjukkan dari ketiga tokoh personal “The Three Musketeers” itu Athos, Porthos dan Aramis. Athos yang memiliki kepribadian yang tenang, cerdas dan cukup bijak menyikapi suatu hal, sekaligus usianya lebih senior dari yang lainnya, dialah “The Leaders” dari ketiganya, analoginya lebih mirip ke Surya Paloh ketika beliau harus juga menyikapi cara partainya merefleksikan berpolitik cerdas, berhasil memanfaatkan momentum untuk keluar dari pola konvensional dan tradisi adanya kecenderungan partai-partai membangun koalisi terlebih dahulu. Nyatanya, seringkali jatuh pada putusan konservatif mengusung Ketua Umumnya sendiri.
Surya Paloh pun yang menginisiasi Rakernas medio Juni di JCC Senayan sebagai wujud “kiprah demokratisasi” nyata dengan menunjukkan —bukan pula dengan cara pemilihan konvensi politik, tetapi melalui mekanisme aspirasi demokrasi “bottom up party” dari semenjak ranting desa hingga DPW merekomendasikan tiga calon nama Presiden: Anies Baswedan, Andika Perkasa dan Ganjar Pranowo.
Hal ini menegasikan dan melegitimasikan bahwa posisinya kini mereka sudah berada di luar dari barisan gerbong anggota partai oligarki. Otomatis pula, paling tidak ini adalah satu cara untuk melemahkan dan melumpuhkan kebersatuan mereka untuk bersama berkuasa kembali.
Setelah sebelumnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Golkar, PAN dan PPP terbentuk. Tanpa diduga sungguh mengejutkan, KIB ini disinyalir diarsitekturi oleh Golkar dan “ direstui” oleh Jokowi secara sembunyi-sembunyi dan akan mengusung paslon Presiden Ganjar-Erick, adalah bentuk perlawanan “penafikan” baru para anggota gerbong partai meninggalkan lokomotifnya sendirian, PDIP, yang kini semakin merana kesepian di kekuasaan lokomotif PT 20% di tangannya.
Ketika kemudian PDIP menyelenggarakan Rakernas beberapa waktu lalu, Jokowi yang masih dianggap “petugas partai” dan Ganjar Pranowo semakin moncer elektabilitasnya “sengaja” digadang-gadang terus-menerus oleh lembaga-lembaga survey bayaran untuk calon Presiden, bermain akting di “panggung sandiwara” Rakernas PDIP itu, seolah tak menafikan masih anggota “setia loyalis” PDIP.
Jokowi dan Ganjar masih berpakewuh hadir menghadap Megawati bak “kacung”. Tetapi, di dalam hati boleh jadi ada penolakan dan “pemberontakan”“bagaimana pun dirinya adalah pejabat jabatan Presiden kok masih dianggap “petugas partai” ibarat peribahasa mengatakan “dalam lautan bisa diduga, dalam hati siapa tahu”.
Padahal, Jokowi dan Ganjar sesungguhnya bersama KIB tengah menyusun kekuatan baru — tanpa PDIP maupun dengan PDIP, boleh jadi patut diduga benar, KIB akan menjadi partai oligarki baru, yang jika benar-benar menjadi, partai oligarki ini akan lebih besar eskalasi berbahayanya, ketimbang waktu pada masa PDIP lokomotifnya. Kenapa?
Dikarenakan di belakang Golkar itu, ada LBP “otak yang membuat ide, strategi dan rencana” yang justru sangat dipercaya oleh Jokowi di Kabinetnya. LBP itu bak Perdana Menteri, menteri segala urusan.
Bahkan, label baru yang disematkan kepada dwi tunggal LBP dan Jokowi, adalah “penguasa-pengusaha”. Di samping, Presiden-Menkoinves, juga keduanya sudah termasuk deretan konglomerasi korporasi yang “di bawah tangan” telah mereka berdua bangun.
Makanya, untuk keberlanjutan kekuasaannya, kedua sejoli tak berhenti-henti dan tengah sangat berjuang keras—tentu dengan cara apa pun, menjadikan Jokowi 3 periode atau jika Jokowi mentok, “legacy”nya tetap berada dalam struktur partai koalisi oligarki KIB itu.