“The Three Musketeers Party”
Tetapi, sang Athos alias Surya Paloh mengerti akan kondisi ini, karena beliau dulu itu mantan calon Ketum Golkar dan mantan anggota partai oligarki, dan bagaimana nanti menemukan trik dan cara melakukan “perlawanan” dengan partai oligarki baru ini di pertarungan Pilpres 2024 nanti.
Demikian pula Porthos, personal kedua dari “The Three Musteteers”, adalah yang paling tampan, muda, cerdik dan juga energik, tapi juga paling reaktif dan komunikatif, nyaris mirip dianalogikan dengan AHY dari partai Demokrat.
Karena Porthos ahli strategi perang, AHY di balik keahlian kemiliterannya ketika di TNI sampai kepangkatan Mayor sudah pasti pengalamannya akan bermanfaat, pandai “memainkan strategi perang” ketentaraan dan atau militer.
Khususnya, nanti ketika koalisis ketiga partai ini bersepakat menjadikan Paslon Pilpres Anies-AHY, tugas dan kewajiban AHY mereformasikan TNI—yang memang tak pernah direformasi, semenjak Soeharto memberlakukan peran Dwi Fungsi ABRI yang membuat para jenderalnya menguasai pelbagai lini strategis di pemerintahan.
Terlebih, banyak para jenderal itu juga sebagai penguasa konglomerasi korporasi, sehingga semakin sangat berkuasa penuh, seringkali pengaruh signifikannya berada di lingkaran kekuasaan Istana, menjadikan jalannya kepemimpinan roda pemerintahan Presiden —seperti Jokowi sekali pun dari sipil, menjelma menjadi kekuasaan otoritarianisme otoriter.
Inilah salah satu fungsionalisasinya AHY nanti membantu kebijakan Anies selaku Presiden tetap menjaga dan mengawal roda pemerintahan berada tetap di jalur kekuatan daulat dan kedaulatan rakyat, mengeliminasi pengaruh para jenderal itu “mengotori” pemerintahan “lazim” dengan korupsi, kolusi dan nepostisme akut.
Sedangkan, orang ketiga dari “The Three Musketeers”, Aramis, yang cenderung lebih banyak pendiam, lebih banyak berwatak dan berkarakter bak seorang biarawan dan atau pendeta, lebih akan cocok seperti seorang tokoh Ahmad Syaikhu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, yang kelak nanti partai ini akan ditugasi kewajiban memberantas dan membasmi stigmatisasi Islamofobia yang ironisnya justru tengah melanda negara dan bangsa ini yang warga negaranya di atas 80% mayoritas beragama Islam.
Stigmatisasi Islamofobia itu terus-menerus diproduksi dan digencarkan propagandanya oleh kalangan para buzzeRp yang memang dibayar oleh para cukong oligarki untuk menghancurkan Islam, seolah Islam itu berada dan berdampingan dengan “ideologi” mengerikan khilafah, adalah penyebar dan biang kerok intoleran, radikal dan terorisme.
Padahal, seperti yang dianut dan dipahami oleh PKS, Islam itu rahmatan Lil alamin, agama yang memberi rahmat bagi seluruh semesta alam, Islam akan lebih toleran, sangat jauh dari hal dan perbuatan radikalisme, apalagi melakukan aksi-aksi terorisme. Islam dan PKS, sebagai satu-kesatuan politik berada di Indonesia, adalah final menganut asas dan dasar negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, ketika ketiga partai bersepakat anti oligarki dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, maka tak ada musuh dan atau lawan, persatuan dan kesatuan rakyatlah yang dimenangkan, seluruhnya mendapatkan hak keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan bersama —setelah Pilpres itu berakhir.
Maka, untuk membuktikan —jika ketiga partai koalisi ini memenangkan kontestasi Pilpres 2024, sebagai wujud demokratisasi, keadilan dan kesetaraan itu, kelak yang dilakukan pertama kali, adalah memberikan pembebasan dan kebebasan tanpa syarat para tahanan politik yang masih terpenjarakan, baik dari kalangan oposisi, para habaib dan ulama yang dipersekusi dan dikriminalisasi maupun bahkan dari kelompoknya sendiri yang terjerat hukum.