Tolak RUU P-KS, Persistri Ungkap Tiga Alasan
Jakarta (SI Online) – Pimpinan Pusat Persatuan Islam Istri (PP Persistri) mengaku telah melakukan kajian terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang saat ini dibahas di DPR.
Hasilnya, Persistri menyatakan menolak RUU tersebut jika tidak dilakukan kajian yang komprehensif terhadap rumusan pasal-pasal yang multi tafsir dan bertentangan dengan aturan hukum keluarga dalam agama dan Pancasila.
Itulah salah satu kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan sikap PP Persistri yang dikeluarkan di Bandung pada 1 Juli 2019 lalu, yang baru beredar di kalangan wartawan, Selasa 16 Juli 2019. Pernyataan itu ditandatangani oleh Ketua Umum PP Persistri Lia Yuliani dan Sekretaris Umum Taty Setiaty.
Selain menolak RUU P-KS, Persistri dalam sikapnya juga meminta agar pemerintah segera menetapkan terlebih dahulu KUHP Nasional. Hal ini dimaksudkan agar diketahui aturan tentang perzinahan sebagai genusnya.
PP Persistri mengajukan tiga alasan utama atas sikap penolakan itu. Pertama, tulis Persistri, RUU P-KS diawali dari fenomena yang mengerikan dan gagasan yang menggiurkan, berakhir pada legal drafting yang multitafsir dan menghawatirkan.
Kedua, RUU P-KS dinilai banyak bersinggungan dengan aturan hukum keluarga yang di dalam Islam merupakan hak Allah, seperti: Orang tua dapat dipidanakan jika memaksa anaknya untuk menikah walaupun anaknya sudah dipandang memiliki hubungan (pacaran) yang berlebihan atau ada ketertarikan seksual sesama jenis. Lalu uami atau istri yang melakukan tindakan non fisik seperti siulan, kedipan mata, memberi ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajaka nmelakukan hubungan seksual, dapat dipidanakan jika dilakukan tanpa persetujuan korban atau bertentangan dengan kehendak korban. Dan, suami yang berhubungan dengan isterinya tanpa persetujuan isterinya dapat dipidanakan.
Ketiga, PP Persistri menilai RUU P-KS mendegradasi bahkan merusak lembaga perkawinan, seperti: menganut pemenuhan hasrat seksual yang mengikuti kehendak seseorang. Islam mengatur pemenuhan hasrat seksual hanya boleh melalui perkawinan, hubungan seksual dengan persetujuan walau tidak menikah, walau sesama jenis, hal itu adalah boleh, dan tidak disebut perkosaan apabila korban menyetujuinya walaupun tidak terikat perkawinan.
red: farah abdillah