Tolak Wacana Sistem Proporsional Tertutup, NHW: Seperti Beli Kucing dalam Karung
Bahkan, lanjutnya, MK juga menafsirkan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengamatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya, sehingga rakyat diposisikan sebagai subjek utama dalam prinsip kedulatan rakyat, bukan hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata.
“Argumentasi ini sangat jelas dalam pertimbangan MK di putusan tersebut,” ujarnya.
HNW yang juga Wakil Ketua Majlis Syura PKS ini menambahkan bahwa MK malah secara tegas menyebutkan mengenai keunggulan sistem proporsional terbuka.
“Dengan sistem proporsional terbuka, Rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif, yang mereka pilih untuk menjadi wakil mereka di Parlemen, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak,” demikian lanjut HNW kembali mengutip pertimbangan MK tersebut.
“Putusan sebelumnya itu harusnya dipahami dan menjadi pegangan, karena sifat putusan MK adalah final dan mengikat, begitulah ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Maka Saya berharap para Pakar dan berbagai komponen masyarakat juga mengkritisi dan mengawasi perkara ini, bahkan bila perlu hadir di persidangan MK sebagai pihak terkait, agar MK tetap konsisten dengan putusannya, dan tidak dengan mudah mengubah keputusannya sendiri dan mundur ke belakang dengan memberlakukan kembali sistem tertutup. Karena sistem proporsional tertutup itu juga tidak sesuai dengan spirit Reformasi, ketentuan Konstitusi,dan akan merugikan kedualatan Rakyat, dan kwalitas demokrasi,” tukasnya.
Namun, meski demikian, perbaikan terhadap sistem pemilu terbuka seperti yang berlaku saat ini hendaknya juga tetap bisa dibahas dan didiskusikan. Hal ini merujuk kepada ketentuan konstitusi bahwa peserta pemilu adalah partai politik (Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945) tetapi pemilihan berdasarkan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945).
“Jadi, demi keadilan, seharusnya dua ketentuan Konstitusi ini bisa diakomodasi dan dikombinasikan. Karena memang bisa terjadi, di suatu Dapil, ternyata Rakyat sesuai kedaulatan yang dimiliki malah mayoritasnya memilih/mencoblos gambar Parpol, bukan nama Caleg, sehingga suara untuk parpol di dapil itu lebih banyak di atas suara untuk para calegnya. Maka bila ini terjadi, sewajarnya bila dipertimbangkan parpol yang di suatu Dapil mendapat suara pilihan Rakyat lebih banyak dari suara para caleg, agar Parpol yang memperoleh suara terbanya dari Rakyat di dapil itu, diberikan kewenangan untuk menentukan aleg terpilih dari para caleg di dapil terkait,” jelasnya.
HNW melanjutkan, tidak seperti dalam Pemilu 2014 dan 2019 di mana suara pilihan Rakyat untuk Parpol sekalipun mayoritas/lebih banyak dari suara untuk para Caleg, tetap saja suara untuk Partai itu diberikan kepada caleg sekalipun suara Caleg lebih sedikit dibanding suara untuk Parpol.
“Tapi dalam keadaan pengecualian seperti ini, tetap saja Parpol tidak diberi ‘cek kosong’, hendaknya tetap ada pengaturan, pilihan Parpol tersebut tetap yang sesuai dengan semangat reformasi dan demokrasi yang berkualitas agar hadir hasil Pemilu yang lebih baik,” pungkasnya.
red: adhila