Tradisi Pembacaan Al-Qur’an di Pesantren: Antara Tafsir, Ritual, dan Kehidupan

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam menjaga, merawat, dan mewariskan tradisi keislaman. Salah satu tradisi yang tidak pernah lekang dari ruang-ruang pesantren adalah pembacaan Al-Qur’an.
Sejak awal berdirinya, pesantren menjadikan Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks sakral yang dibaca untuk ibadah, tetapi juga sebagai sumber ilmu, pedoman hidup, dan energi spiritual yang membentuk kepribadian santri. Tradisi pembacaan Al-Qur’an di pesantren berlangsung dalam berbagai bentuk dan konteks.
Di satu sisi, pembacaan dilakukan secara rutin melalui tadarus, khataman, dan halaqah tafsir. Di sisi lain, ia hadir dalam bentuk ritual keagamaan seperti haul kiai, doa bersama, hingga pembacaan surah-surah tertentu untuk tujuan spiritual maupun sosial. Keberagaman cara pembacaan ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an di pesantren tidak hanya dipahami sebagai teks yang harus dihafal atau ditafsirkan, tetapi juga dihidupkan dalam keseharian santri.
Dalam aspek akademik, pembacaan Al-Qur’an di pesantren erat kaitannya dengan proses belajar mengajar. Santri tidak hanya melafalkan ayat, tetapi juga diajak memahami maknanya melalui kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir al-Jalalayn, Tafsir al-Baidhawi, hingga Tafsir Ibn Katsir.
Melalui pengajian tafsir, santri diperkenalkan pada dimensi keilmuan Al-Qur’an yang kaya, mencakup aspek linguistik, hukum, akhlak, dan teologi. Dengan demikian, tafsir menjadi jembatan antara teks Al-Qur’an dan realitas yang dihadapi umat.
Namun, pembacaan Al-Qur’an di pesantren tidak berhenti pada dimensi intelektual. Ada lapisan ritual yang melekat kuat dalam tradisi pesantren. Misalnya, kebiasaan khataman Al-Qur’an yang dilakukan untuk memperingati peristiwa penting, mendoakan leluhur, atau membuka acara besar.
Ritual ini mengandung makna spiritual sekaligus sosial. Ia menjadi media pengikat kebersamaan, memperkuat ikatan batin antar santri dan masyarakat, serta meneguhkan keyakinan bahwa Al-Qur’an memiliki kekuatan doa yang membawa keberkahan.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari santri, Al-Qur’an hadir sebagai pedoman moral. Ayat-ayat yang mereka baca dan dengar setiap hari perlahan membentuk kesadaran religius. Misalnya, kebiasaan membaca Surah Al-Fatihah sebelum memulai belajar, atau membaca Surah Yasin pada malam Jumat bersama-sama. Praktik ini menanamkan rasa kedekatan dengan Al-Qur’an, sekaligus mengajarkan bahwa setiap aktivitas harus dimulai dengan doa dan harapan akan keberkahan.
Tradisi pembacaan Al-Qur’an di pesantren juga menunjukkan dimensi living Qur’an, yakni bagaimana teks suci itu hidup dalam masyarakat Muslim. Ia tidak hanya dibaca di ruang kelas, tetapi juga di mushalla, rumah kiai, bahkan di tengah masyarakat sekitar. Pesantren dengan demikian menjadi pusat penyebaran budaya Qur’ani yang menyentuh banyak aspek kehidupan: pendidikan, sosial, spiritual, hingga budaya.
Dalam konteks modern, tradisi ini menghadapi tantangan sekaligus peluang. Tantangannya adalah bagaimana menjaga konsistensi pembacaan Al-Qur’an di tengah derasnya arus digital dan modernisasi. Santri kini tidak hanya berinteraksi dengan mushaf cetak, tetapi juga dengan aplikasi Al-Qur’an di gawai mereka. Sementara peluangnya adalah menjadikan pembacaan Al-Qur’an lebih mudah diakses dan lebih luas jangkauannya.
Banyak pesantren kini yang menyiarkan kegiatan khataman atau pengajian tafsir secara daring, sehingga masyarakat luar pesantren pun bisa ikut menyimak dan merasakan keberkahannya. Akhirnya, tradisi pembacaan Al-Qur’an di pesantren adalah bukti nyata bahwa teks suci ini tidak hanya dihadirkan sebagai dokumen keagamaan, tetapi benar-benar hidup dan memberi ruh bagi pendidikan, ritual, dan kehidupan sehari-hari.
Tafsir menjadikan Al-Qur’an relevan dengan konteks, ritual menjadikannya sakral dan penuh makna, sementara kehidupan sehari-hari menjadikannya dekat dengan umat. Dari pesantrenlah lahir generasi Muslim yang tidak hanya bisa membaca, tetapi juga berusaha menghidupkan Al-Qur’an dalam setiap langkah kehidupannya.[]
Ahmad Izzul Haq, Santri Ponpes Al-Fattah Kartasura.