Tren Merestui Kemaksiatan
UNESCO tahun 2014 mendokumentasikan 95% kasus HIV baru di Asia Tenggara berasal dari LSL dan transgender. The Fenway Institute dalam tulisan Improving the Health Care LGBT People mengakui bahwa infeksi menular seksual termasuk HIV merupakan hal utama yang menjadi perhatian komunitas LGBT. Ini membuktikan bahwa kerusakan/penyakit mengerikan adalah konsekuensi logis penyimpangan seksual.
19 Desember 2017, dalam tayangan salah satu TV nasional dr. Dewi Inong bersama dengan para bunda AILA menyita simpati publik atas kekalahan mereka di sidang MK. Lima dari sembilan Hakim MK menolak menganggap perilaku LGBT adalah perilaku kriminal. Meski sudah menyodorkan data survey bahwa 93% masyarakat menolak perilaku LGBT di sekitar mereka tetap tidak bisa mengetuk hati penguasa untuk memberi payung hukum perlindungan generasi dari perilaku LGBT. Prinsip vox populi, vox dei dalam demokrasi seketika hilang tak berbekas.
Hanya berjarak hari dari keputusan MK, headline di sebuah surat kabar cetak daerah menyentak kita semua, “Tahun Baru, Kaum Gay Agendakan Pesta Seks. Sambut Kemenangan atas Putusan MK”. Seketika kita paham, betapapun individu dan masyarakat bahu-membahu menyelamatkan generasi. Seketika luluh lantah tanpa ada topangan sistem.
Kusutnya solusi untuk LGBT dengan segala kerusakan yang dibawa berawal dari standar nilai yang digunakan, liberalisme (kebebasan berperilaku). Alhasil, solusi yang hadir hanya semacam ‘pemadam kebakaran’ namun enggan memusnahkan sumber api. Arogansi pelaku dan pengusung ide ini sama sekali tidak membantu meredakan kerusakan yang dibawa.
Sahabat Rasul yang mulia, Ustman bin Affan ra berkata, “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang pada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al-Qur’an.”
Sampai pada titik ini, naif jika kita memandang LGBT melenggang tanpa political driving. Sepak terjang mereka secara gamblang menunjukkan di abad ke-21 ini justru puncak kemenangan gerakan politis yang telah digagas sejak lama.
Menjadi penting dan mendesak semua elemen umat harus teredukasi sempurna dengan Islam. Ulama, cendekiawan, aktivis mengerahkan seluruh energi, bukan hanya untuk meningkatkan resistensi terhadap ide-ide merusak namun juga mampu memukul balik sekaligus menyemaikan nilai-nilai kebenaran Islam di atas standar dan nilai Barat. Kesadaran ini harus dibangun hingga level kesadaran politis (al wa’y al siyasi).
Kesadaran politis harus terus-menerus dipompa dan difokuskan pada peruntuhan akar masalah LGBT, yakni Barat dan ideologi kapitalisnya. Pada saat yang sama memupuk kekuatan politis Islam yang setara untuk menandingi Kapitalis Barat, mulai dari level individu, masyarakat, dan negara. Bukan sembarang negara, namun negara yang mampu berdiri kokoh menanggalkan segala bentuk standar dan nilai Barat. Sebuah negara yang berani mandiri, kokoh melenggangkan Islam dalam panggung politik dunia. []
Dessy Fatmawati, S.T., Tim Komunitas Muslimah Hijrah Jakarta