Trump, Gaza dan Pengalaman Traumatis Farha
![](https://i0.wp.com/suaraislam.id/wp-content/uploads/2025/02/farha-netflix-.jpg?resize=650%2C361&ssl=1)
Tak lama kemudian melintas patroli milisi Haganah dan seorang warga desa setempat dengan kepala tertutup tudung seperti terdakwa hukuman mati, kecuali pada posisi kedua matanya yang dibuat berlubang. Rupanya lelaki itu menjadi informan bagi Haganah. Dia bilang bahwa keluarga kecil yang ada di depan mereka itu bukan laskar pejuang, hanya warga biasa dari desa tetangga.
Tetapi komandan Haganah tak percaya. Setelah melalui interogasi bertele-tele, sang komandan memutuskan keluarga malang itu harus ditembak mati. Sedangkan sang bayi tetap harus dibunuh, “Tetapi jangan sia-siakan sebutir pun peluru,” ujar sang komandan kepada seorang anak buahnya yang memakai kippah (peci orang Yahudi).
Sang anak buah senewen. Awalnya dia ingin menginjak sang bayi dengan sepatu larsnya. Namun niat itu dibatalkan karena grogi. Akhirnya dia ambil sapu tangan dan menempatkan di muka sang bayi agar kesulitan bernapas. Lalu anggota milisi itu pergi menyusul komandan dan kawan-kawannya yang sudah berangkat lebih dulu. Semua peristiwa disaksikan Farha dengan berlinang air mata.
Entah berapa hari berlalu, tak ada penunjuk waktu. Terkadang untuk menghibur dirinya sendiri, Farha bersenandung lagu ciptaannya sendiri yang menggambarkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke kota. Lalu layar menjadi temaram, gelap, kadang remang-remang. Gambar-gambar yang menabur perih luka kemanusiaan. Mengingatkan pada kisah Anne Frank, gadis Yahudi yang bersembunyi dari kejaran Tentara Nazi pada Perang Dunia II. Namun kini justru bala tentara Yahudi yang menebarkan kengerian serupa kepada anak dara Palestina bernama Farha.
Entah berapa hari lagi berganti sampai Farha membongkar karung berisi biji-bijian di dalam gudang. Mungkin untuk mencari makanan. Ternyata di dalam beberapa karung tersembunyi pistol dan peluru yang tampaknya disembunyikan sang ayah. Dengan modal senjata api itu, Farha menembaki gerendel pintu kayu sampai bisa terbuka. Farha melangkah keluar dan melihat mayat bayi, wajahnya tertutup sapu tangan, sudah dikerubungi lalat.
Farha sudah tak bisa menangis. Wajahnya kuyu. Rambut kusut masai dan berdebu. Dia berjalan gontai menyusuri jalan dusun yang lengang karena seluruh warga sudah dipaksa mengungsi, atau ditembak mati, oleh Haganah.
Film selesai di sini, dengan sebaris teks penutup bahwa Farha tak pernah bertemu lagi dengan ayahnya, yang diperkirakan terbunuh dalam nakba. Namun Farha, yang terinspirasi dari kisah nyata dara Palestina bernama asli Radiyyeh, berhasil menyelamatkan diri ke Suriah.
Jika terima kasih pertama kita berikan kepada Darin J. Sallam sebagai sutradara yang bernyali mengangkat kisah lisan (oral story) dan memperkaya bahan filmnya dengan data dari buku sejarawan Israel anti-zionisme Ilan Pappé, berjudul “The Ethnic Cleansing of Palestine” (2006), maka terima kasih selanjutnya harus ditujukan kepada Netflix yang berani menayangkan film ini di tengah kecaman pedas para pejabat Israel seperti Menteri Kebudayaan Hill Tropper dan Menteri Keuangan Avigdor Lieberman sejak awal.
Bahkan sehari setelah tayang di Netflix pada 1 Desember 2022, film yang menjadi wakil resmi Yordania pada Piala Oscar 2023 ini menghadapi seruan boikot di situs IMDb (International Movie Database). Namun Netflix bergeming dan film ini masih bisa ditonton sampai sekarang tanpa ada sensor terhadap adegan brutal milisi Haganah terhadap warga Palestina.
Sutradara Darin J. Sallam juga menghadapi pembulian masif dari para pendukung zionisme dengan tuduhan membuat film yang “penuh kebencian dan rasis”. Kepada majalah Time yang mewawancarainya, Darin mengatakan bahwa, “Dibandingkan dengan apa yang terjadi selama masa pembantaian, (apa yang terlihat di film saya) adalah peristiwa sangat kecil,” katanya.
(Untuk wawancara lengkap Time dengan Darin baca: Why the Director of Netflix’s Farha Depicted the Murder of a Palestinian Family
Kembali ke awal tulisan ini tentang ide Donald Trump untuk melokalisir warga Gaza agar keluar dari wilayah yang turun temurun menjadi kampung halaman mereka, pada dasarnya ide itu tak ada bedanya dengan ancaman Haganah di tahun 1948 tentang ‘ get out or get killed’, meski tentu saja Trump tak akan menggunakan diksi yang sama.