SUARA PEMBACA

Universitas Ini Bukan yang Terbaik, Tapi Mampu Cetak Pemimpin Terbaik

Mahasiswanya menegah-ke bawah, terlihat sederhana serta polos adanya, adab menjadi standar reputasinya.

Cerita dimulai dari sini.
Tetap saja, saya merasa bangga bahwa lulus dari kampus ini, dosennya sederhana & tawadhu, kampusnya biasa saja, tidak menjadikan reputasi adalah segala-galanya.
Wacana keilmuan & Keislaman adalah purposed besar perpaduan smart people sejalan dengan wise people baginya.

Semua mengalir dalam ekosistem belajar berbagi keteladanan sebagai jatidiri, adab serta legacy yang dibawa mereka dalam kemuliaan diri, begitulah kampus Muhammadiyah melatih jiwa-jiwa polos berderap untuk jalan berkelok diujung masa kelak nanti.

Hari ini disaat paradoxal pola kebijakan pendidikan nasional yang kehilangan arah, serta banyak kampus berbuat sebatas memoles reputasi dengan berjual beli gelar, demi gengsi para pejabat negeri, memenuhi hasrat untuk mencari ruang profit belaka, malah Muhammadiyah menuai prestasi, QS index reputasi tumbuh dan naik significant. Apresiasi sebagai pengakuan membanjiri ruang civitas akademika sejumlah kampus Muhammadiyah.

Kita semua tahu atas realitas bahwasanya Muhammadiyah, tetap bertahan dengan SPP murah meriahnya, naik tak seberapa setiap tahunnya, demi upaya terjangkau untuk anak-anak tak mampu negeri ini, Muhammadiyah memahami bahwa pendidikan adalah hak bagi rakyat Indonesia.

Kita semua tahu, banyak yang mendaftar karena murahnya.
Kita semua tahu yang mendaftar tidak ada pilihan kampus baginya.
Kita semua tahu bahwa terkadang ini bukan pilihan utamanya.

Tapi cerita menjadi berbeda, disaat kampus-kampus papan atas yang jaim menjaga reputasi, berlomba mencari potensi-kapabilitas talentanya, sebagai kriteria dan syarat mutlak untuk diterima, di kampus Muhammadiyah malah membuka ruang kepada siapapun yang ingin masuk dan dapat belajar sebagai kesadaran atas hak dasar bagi siapapun anak negeri dalam pilihan di 147 universitas di pelosok negeri, sebagai pintu gerbang-kawah candradimuka terbaik, didukung pula dengan sikap moral para pendidik dengan sabar dan tawadhu; mereka membasuh, mendidik dan menempa penuh welas asih serta keteladanan.

Mereka yang tadinya biasa saja, seiring waktu berjalan mereka menjadi hebat luar biasa, tentu sosok talenta unggul bersiap untuk menjadi key player penentu arah cita cita pendiri bangsa.

Demikianlah guru-guru sosok pendidik Muhammadiyah yang sederhana dan tanpa pamrih menyemai nilai-nilai kemuhammadiyahan serta akidah keislaman sebagai values, patut disadari hakikat pendidikan, etika moral serta adab akan tumbuh menjadi belief jati diri mereka bila kebijakan pendidikan menyertakan karakter menjadi prioritasnya.

Siapapun mereka atas asal, warna kulit, etnis, agama dan peradaban, bukan ukuran bagi Muhammadiyah untuk melakoni dengan sepenuh hati, Muhammadiyah paham betul arti pluralisme, keragaman serta nasionalisme bagaimana hal ini mengiringi nilai nilai inti akidahnya.

Muhammadiyah mempunyai jalan panjang dan berkelok atas problem bangsa, gaduh politik tidak sertamerta bereuforia dan latah cawe-cawe atasnya. Pak Haedar Nashir punya sikap moral atas kebijakan pendidikan tidak untuk diperjualbelikan atas nama politik praktis, tetapi mendidik adalah amanah para pendiri bangsa yang patut dijaga kualitas dan keberlanjutannya.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button