Upaya Barat Akui Negara Palestina Justru Utamakan Israel
Pengakuan bersyarat berfokus pada keamanan Israel, bukan pada hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri atau akuntabilitas yang nyata.

Disebutkan pula bahwa Israel memiliki “hak berdasarkan hukum internasional untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan HAM dan hukum humaniter internasional, demi melindungi keamanan warganya dari serangan kelompok teroris.” Tetapi bagaimana jika Israel sendiri justru sedang melanggar hukum internasional — seperti yang terjadi saat ini? Apakah Kanada masih akan membela Israel dan keamanannya?
Setelah menegaskan dukungan untuk Israel, barulah Kanada menyatakan mendukung hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri serta negara Palestina yang berdaulat, merdeka, demokratis, layak huni, dan memiliki kesatuan wilayah. Namun itu pun penuh syarat: reformasi pemerintahan di Otoritas Palestina, demiliterisasi negara Palestina, serta pemilu 2026 “tanpa keterlibatan Hamas”.
Janji Australia juga serupa: pengakuan hanya akan diberikan jika Otoritas Palestina melakukan reformasi tertentu, termasuk penghentian pembayaran untuk tahanan, reformasi pendidikan, dan demiliterisasi. Mereka juga menuntut Hamas mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan senjata.
Pernyataan bersama Menteri Luar Negeri Penny Wong dan Perdana Menteri Anthony Albanese menambahkan: “Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam membangun negara Palestina. Kami akan bekerja dengan mitra untuk menyusun rencana perdamaian yang kredibel, yang menetapkan tata kelola dan pengaturan keamanan bagi Palestina, sekaligus menjamin keamanan Israel.” Tapi bagaimana dengan keamanan rakyat Palestina? Apakah Australia akan melakukan sesuatu untuk melindungi mereka dari pemusnahan massal Israel? Atau orang Palestina hanya diminta membangun negara sesuai selera Barat, sambil berharap Israel suatu saat bosan melakukan genosida?
Tragedi yang menyakitkan adalah kita sudah melihat apa yang terjadi ketika proses perdamaian mengutamakan keamanan Israel daripada hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri. Itu disebut Perjanjian Oslo.
Dalam esainya The Morning After, Edward Said menulis tentang vulgaritas cara perjanjian itu ditandatangani di Gedung Putih dan betapa kecilnya cara Yasser Arafat mengucapkan terima kasih. Said menyesalkan bahwa Oslo bukanlah jalan menuju negara Palestina, melainkan simbol “kapitulasi Palestina dalam proporsi yang mencengangkan”.
Hasilnya adalah sebuah Otoritas Palestina — ya, Otoritas yang kini didukung Barat — dengan segala atribut negara, tetapi tanpa negara sungguhan. Israel tetap bebas melanjutkan upaya menghapus rakyat Palestina. Dan Otoritas Palestina justru menjadi perpanjangan proyek kolonialisme pemukim, bekerja sama dengan pasukan Israel untuk melemahkan gerakan nasional Palestina, semua atas nama keamanan Israel.
Jadi, jika para pemimpin Barat benar-benar tulus ingin “menyelesaikan” krisis, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah yang menempatkan hak rakyat Palestina sebagai pusat, dengan mekanisme pengaruh politik dan sanksi yang mampu mengekang perilaku bandit Israel. Tanpa itu, pengakuan negara Palestina hanyalah pertunjukan kosong, dan kampanye genosida serta penghapusan oleh Israel akan terus berlanjut tanpa batas.[]
Sumber: Al Jazeera