Utang dan Demokrasi Ecek-Ecek
Negara ini sedang bergerak menuju “pesta” demokrasi tahun 2024 baik Pileg maupun Pilpres. Pileg berjalan normal walau dalam prosesnya rakyat merasakan wasit yang terindikasi “masuk angin”. Untuk Pilpres wajahnya lebih buruk. Ada nuansa banyak pihak yang tidak siap untuk berkompetisi secara sehat dan fair.
Adalah Anies Baswedan yang sudah bergerak jauh dan relatif telah memiliki kendaraan koalisi lebih 20% PT. Meski awal dijegal dengan senjata ini justru saat ini para penjegal yang kebingungan untuk memiliki figur seimbang dengan dukungan 20% tersebut. Rupanya senjata makan nyonya. Nyonya dan tuan yang marah-marah tidak karuan.
Marah tidak karuannya ditampilkan dengan terus mencoba memperalat KPK agar mencari dan menemukan kesalahan keuangan Anies. Kesalahan yang dicari-cari. Mendorong buzzer untuk gencar menyerang dengan isu rasialis dan politik identitas. Buzzer bayaran yang teriak jika ada minyak. Mengadu domba antar partai politik agar terjadi pembusukan atau pembunuhan karakter.
Erwin Aksa, Waketum Partai Golkar, mencoba mengangkat masalah tak jelas soal utang Anies kepada Sandiaga Uno. Itu persoalan Pilkada yang Wakil Gubernur nya juga Sandiaga Uno. Masalah yang berada di ruang Partai Gerindra. Sebelumnya diributkan perjanjian Anies-Prabowo. Isu kekanak-kanakan untuk sebuah Pilpres.
Pendukung Anies dan penyokong kesehatan berpolitik menantang untuk membuktikan semua tuduhan. Bahkan ada yang menyatakan jika itu benar siap untuk membayar dengan patungan bersama. Sementara Uno sendiri ingin menyudahi semua polemik dan “mengikhlaskan” biaya 50 Miliar pemenangan Pilkada 2017 tersebut.
Semua ini adalah cermin dari kepanikan dan ketidaksiapan menghadapi persaingan dalam Pilpres 2024. Prabowo ketakutan menghadapi Anies, Puan belum juga terdongkrak, Ganjar pusing tidak satu pun partai mengusungnya, sedangkan Erick cuma jalan-jalan dan jualan baliho.
Jokowi tidak punya pilihan selain tiga periode atau penundaan Pemilu. Frustrasi dan gemetaran menjelang 2024. Di tengah kekalutan Istana dan “inner circle” maka beredar pula video lama adik Prabowo, Hashim Djoyohadikusumo, yang “mencak-mencak” mengaku telah membiayai pemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI.
Kata Hashim, Jokowi itu sering datang ke kantornya untuk minta dukungan keuangan “1 Miliar, 6 Miliar, 19 Miliar dan seterusnya sampai menang”. Hashim juga yang membuka rekening di berbagai Bank untuk pemenangan Pilkada tersebut.
Kepanikan Istana telah membawa demokrasi bangsa menjadi berwarna buram. Semestinya kompetisi pada 2024 dilakukan dengan sehat. Siap kalah dan siap menang. Tidak membuat kecurangan ulang yang membuat rakyat menjadi berang. Indonesia tidak boleh mengalami gempa politik dahsyat hanya karena Pilpres.
Jokowi harus bertekad untuk mengakhiri masa jabatan dengan baik dan bermartabat. Bukan dengan melempar-lempar kaos masalah di jalan yang membuat rakyat terengah-engah dan terjatuh berebut masalah. Seperti penjajah yang memperbudak anak negeri.
Ayo akhiri 2024 dengan baik. Demokrasi Pancasila bukan demokrasi ecek-ecek. Atau yang lebih baik adalah mengakhiri pada 2023?
Tentu rakyat lebih berbahagia dan bersuka cita.
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 8 Februari 2023