UU Ciptaker Berpotensi Perbudak Bangsa Sendiri
Jakarta (SI Online) – Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengatakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan menyimpan potensi ancaman terhadap kedaulatan bangsa.
Dua isu utama yang menjadi sorotan Fraksi PKS, yakni kedaulatan sumberdaya manusia (SDM) dan kedaulatan sumberdaya alam (SDA).
“Pengesahan RUU Cipta Kerja seolah “tusukan dari belakang” di tengah perjuangan masyarakat kita yang sedang sulit karena harus menghadapi pandemi. Harga diri bangsa kita, khususnya para kaum pekerja, terancam diinjak-injak oleh kepentingan kaum kapitalis yang tengah bersorak sorai. Mereka tengah bersuka cita karena pada akhirnya bisa menghisap habis tenaga kaum buruh di segala jenis pekerjaan tanpa terkecuali melalui status kontrak seumur hidup,” kata Bukhori di Jakarta, Kamis (8/10/2020)
Anggota Komisi VIII DPR ini membeberkan alasannya terkait UU Cipta Kerja yang berpotensi memperbudak bangsa sendiri. Ia menilai, melalui UU Ciptaker tersebut, ketentuan outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan.
Pertama, dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan terkait pemborongan pekerjaan (outsourcing) dapat dilakukan sepanjang memenuhi syarat berikut: (1) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; (2) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; (3) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; (4) tidak menghambat proses produksi secara langsung.
“Celakanya, di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja justru menghapus pasal tersebut (red; pasal 65 UU 13/2003) yang memberikan batasan terhadap outsourcing. Artinya, outsourcing bisa bebas diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali,” paparnya.
Sebenarnya, dalam UU 13 Tahun 2003, outsourcing hanya dibatasi di 5 (lima) jenis pekerjaan, (cleaning service, keamanan, transportasi, catering, dan jasa migas pertambangan) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 66 Ayat (1) berbunyi:
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi,” kata dia.
“Sedangkan dalam Omnibus Law Pasal 66 ayat (1) tersebut dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di-outsourcing sehingga membuka ruang yang besar bagi perbudakan modern (modern slavery). Konsekuensinya, apabila outsourcing dibebaskan, maka hilang job security dan kepastian bagi buruh untuk memperoleh jaminan kerja yang memadai. Hidup mereka tidak tenang karena selalui diliputi kecemasan dan ancaman pemutusan kerja sepihak sewaktu-waktu. Maka sudah semestinya Negara hadir melindungi rakyatnya dari perdagangan tenaga manusia oleh agen outsourcing ini dan secara serius memperjuangkan masa depan yang layak bagi kaum pekerja. Karena itu, saya meminta agar kita kembali pada UU No 13/2003,” ungkapnya
Menurut KSPI, pada 2020 jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar antara 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja akan berdampak pada persentase karyawan tetap yang hanya tersisa 5%.