V-Day, Virus Liberal Perusak Generasi Muslim
Gema euforia 14 Februari dimulai, hari kasih sayang datang lagi, dengan berjuta angan romantis memabukkan muda-mudi. Budaya perayaan tahunan tersebut sudah melekat erat entah sejak kapan di negeri ini. Yang jelas pada hari Valentine penuh dengan bunga-bunga warna-warni, boneka imut dan coklat manis berhias bentuk maupun gambar hati.
Siapa yang tak bahagia tatkala orang tersayang memberi hadiah juga mewujudkan beragam perasaan kasih? Kecil, muda, tua, tak ketinggalan turut serta berpartisipasi, rasanya kebahagian menyelimuti dunia nyata dan maya dalam satu hari.
Namun di balik sisi gegap gempita atmosfir rasa gembira, gambaran jelas yang disuguhkan oleh pesta perayaan Valentine’s Day juga identik dengan kerusakan moral dan akhlak generasi muda. Mulai dari pesta pora, pacaran, hingga berzina. Hanya dengan seikat bunga, coklat manis, dan satu rayuan gombal, runtuhlah logika dan masa depan, para gadis dengan mudahnya menyerahkan kesucian atas nama cinta pada hari kasih sayang. Laris manisnya kondom dan tisue magic sebelum tanggal 14 Februari, juga adanya cokelat valentine berhadiah kondom pada tahun-tahun sebelumnya, sudah cukup menjadi pelajaran sekaligus bukti otentik bahwa memang V-Day sudah terlampau merusak generasi bangsa.
Mirisnya, hal ini banyak terjadi di kalangan generasi muslimin yang terus berulang setiap tahunnya, 14 Februari sudah seperti hari berzina sedunia. Demikian fakta mencengangkan zaman now yang tak dapat dipungkiri. Sungguh sebuah kegelapan sejati yang terlanjur dimaklumi di tengah-tengah masyarakat mayoritas Muslim. Tidak tahukah mereka apa makna sebenarnya di balik V-Day itu?
Dari salah satu versi sejarah, Valentine sendiri diambil dari nama seorang pendeta Valentinus/Valentine yang hidup pada zaman kekaisaran Roma, kemudian meninggal dipancung pada 14 Februari sekitar tahun 270-an Masehi. Dikisahkan bahwa raja Romawi Claudius II kala itu melarang adanya pernikahan, tunangan, dan semua hubungan percintaan, karena dianggap sebagai penyebab hilangnya mental keberanian prajurit untuk pergi berperang. Sang raja meyakini bentuk ikatan rasa cinta dan kasih sayang pada orang-orang terdekat takkan mewujudkan pasukan tangguh yang ia idam-idamkan. Pendeta Valentinus tak setuju atas kebijakan raja tersebut, tragis baginya, ia tertangkap tangan menikahkan pasangan muda dan melanggar aturan sang raja, penyiksaan dan eksekusi mati pun menjadi ganjarannya.
Peristiwa protes pendeta Valentinus kepada raja Claudius II kemudian dianggap sebagai simbol perjuangan atas rasa cinta dan kasih sayang, ia dinobatkan sebagai pendeta suci dengan sebutan Santo Valentinus. Belakangan setelah ditetapkan oleh gereja, dari generasi ke generasi, sebuah perayaan hari kasih sayang menjadi tradisi setiap tahun dalam rangka menghormati pengorbanan sang pendeta. Meski terdapat juga versi lain asal-usul perayaan Valentine’s Day, yang dihubungkan dengan hari raya Lupercalia Romawi kuno pada tanggal 15 Februari yaitu hari persembahan dewa kesuburan Lupercus yang digambarkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Namun versi pendeta Valentinus lebih marak dipercayai oleh warga dunia sebagai asal mula perayaan ini.
Dengan melihat sejarah perayaan Valentine’s Day, sudah sangat jelas bahwa ritual tahunan ini bukanlah berasal dari budaya maupun ajaran Islam. Padahal, kalaupun ingin menebarkan kasih sayang, Islam tidak membatasi pada hari tertentu, setiap hari mestinya penuh kasih sayang di dalam keluarga, pertemanan, dan pada orang-orang yang dikenal, tentu dengan memperhatikan koridor syariah dan tidak keluar jalur aturan Islam. Maka sangat aneh ketika banyak kaum Muslimin mengikuti budaya perayaan hari kasih sayang ini. Mereka ikut-ikutan menjadikan V-Day sebagai momen spesial untuk bercengkrama menunjukkan kepedulian, menyatakan cinta penuh maksiat, dan lebih parah menggadaikan Iman.
Penyebab utama dari fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan dari virus liberal dalam upaya liberalisasi barat yang disebarkan secara masif ke seluruh penjuru dunia, sehingga generasi kaum muslimin ikut terpapar paham kebebasan kebablasan dengan mengikuti trend budaya di luar Islam. Alasan lainnya adalah kurangnya pemahaman kaum muslimin tentang sejarah dan batasan-batasan perayaan budaya dalam aturan Islam, sehingga antibodi untuk menangkal pengaruh buruk virus liberalisme sangat lemah. Pemerintah juga seolah berlepas tangan atas fenomena kerusakan ini, justru malah dikapitalisasi untuk meningkatkan pendapatan ekonomi dari penjualan pernak-pernik V-Day, perhotelan, dan tempat-tempat pariwisata.
Maka apabila ditinjau dari perspektif Islam, turut serta dalam merayakan Valentine’s Day termasuk dalam kategori menyerupai kaum Nashrani (tasyabbuh), yang tentunya hal ini punya konsekuensi terhadap keimanan seorang muslim. Sebagaimana Rasulullah Sallallahu’Alaihi Wasallam bersabda,
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Kemudian dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk di antara mereka. [HR. Abu Daud dan dishahihkan Ibnu Hibban]
Tentang hadits di atas, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, bahwa kadar paling minim dari makna hadits tersebut menunjukkan haramnya perilaku menyerupai kaum kafir. Apalagi jikalau mengikuti ritual pagan Romawi ataupun memuliakan pendeta Valentinus, ia dapat merusak kemurnian Iman. Sehingga sudah amat jelas betapa bahayanya virus V-Day bagi generasi muda kaum Muslimin, jikalau tak dapat memahami batasan budaya ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya dampak kerusakan moral, akhlak, serta keimanan di masa depan nanti, justru yang lahir nanti adalah generasi rusak yang jauh dari identitas muslim. Na’udzubillahi mindzalik.
Di sinilah urgensi penyadaran umat itu dibutuhkan, bahwa bukan cuma pengemban dakwah tetapi negara juga seharusnya ikut berperan besar mengembalikan fitrah generasi bangsa dan khususnya generasi muslim dengan mengeluarkan kebijakan “radikal” pelarangan muslim merayakan Valentine’s Day dan membiarkan umat di luar Islam merayakan hari spesial mereka. Dengan demikian, batasan-batasan penerapan ajaran agama dan interaksi budaya menjadi jelas dan tidak membingungkan apalagi menyesatkan umat. Semoga kita sebagai generasi muslim milenial dapat terhindar dari virus V-Day yang mematikan serta merusak masa depan ini. Aamiin.
Wallahu A’lam Bishshawab
Muammar Iksan
Pemuda kelahiran Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)