Viral Guru Honorer Spill Gaji, Ada Apa?
Oemar Bakrie Oemar Bakrie // Pegawai negeri // Oemar Bakrie Oemar Bakrie // Empat puluh tahun mengabdi // Jadi guru jujur berbakti memang makan hati // Oemar Bakri Oemar Bakrie // Banyak ciptakan menteri // Oemar Bakrie // Profesor dokter insinyurpun jadi // Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie // Seperti dikebiri
Cuplikan lagu lawas karya Iwan Fals yang melukiskan potret Oemar Bakri tak pernah lekang oleh waktu. Karena sampai detik ini, guru terutama honorer masih saja menelan kenyataan pahit terkait kesejahteraannya.
Dalam sebulan terakhir, viral di media sosial guru-guru termasuk dosen men-spill gajinya. Gaji di bawah standar, bahkan lebih rendah dari gaji pembantu rumah tangga. Pun banjir media massa mainstream melansir pilunya kehidupan ekonomi guru honorer walaupun sudah lama mengabdi. Amat memprihatinkan, masih jauh dari kata layak.
Misalnya guru di Sumbar hanya bergaji 50 ribu/bulan. Guru di Banyuwangi bergaji 200 ribu/bulan. Bahkan ada Guru di Pandeglang yang terpaksa tinggal di WC karena hanya bergaji 350 ribu perbulan.
Hal tersebut selaras dengan hasil riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024. Riset melansir bahwa 74 % guru honorer bergaji di bawah UMK.
Tak hanya besaran gaji yang miris, guru honorer acapkali menghadapi tunggakan pembayaran gaji bahkan ada yang sampai satu tahun. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, banyak guru honorer terpaksa banting tulang mengais rezeki, setelah selesai melaksanakan tugas di sekolah. Bahkan ada yang terpaksa berutang.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa profesi guru paling banyak terjerat pinjol. Masih banyak lagi berita terkait minimnya kesejahteraan guru. Sungguh tak sebanding dengan pengabdian mereka.
Pengorbanan vs Penghargaan Guru
Di sisi lain, guru sebagai tombak mutu pendidikan harus memiliki profesionalisme. UU tentang guru dan dosen, mensyaratkan kualifikasi guru harus berpendidikan D-IV atau S1. Guru harus memenuhi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional. Guru untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi harus melalui perjalanan panjang yang sulit dan terseok-seok.
Belum lagi realitas lapangan di sekolah yang tak seindah dan seideal teori pendidikan. Guru harus memiliki segudang kesabaran dan mental baja menghadapi siswa-siswi yang makin hari makin terdegradasi adabnya. Ditambah lagi dengan beban administrasi yang menghabiskan waktu dan energi guru. Ya guru dituntut menjadi pembelajar seumur pengabdiannya.
Tapi pengorbanan guru sebagai garda terdepan dan tulang punggung peradaban negara, hanya dianggap sebelah mata. Apresiasi pemerintah dan masyarakat hanya setengah hati terhadap peran mulia guru. Jika menilik gaji pejabat di instansi pemerintah selain guru, tak dapat dinafikkan ada kesenjangan yang lebar. Bahkan ada pejabat yang duduk di kursi empuknya tanpa diperhatikan kualifikasi pendidikannya apatah lagi kompetensinya.
Belum ada komitmen kuat pada pemerintah dalam mengatasi minimnya kesejahteraan guru. Indikator ini nampak jelas pada anggaran pendidikan dalam struktur APBN. Pemerintah menyatakan telah mengalokasikan 20 persen APBN/APBD untuk pendidikan. Tapi kenyataannya hal tersebut hanyalah formalitas dan harus diakui tak tepat sasaran. Hal ini banyak dikritik oleh para ekonom yang menyatakan bahwa 60-70 % APBN atau APBD digunakan untuk kepentingan birokrasi.
Minimnya penghargaan pada guru menunjukkan ilmu tak dinomorsatukan dalam kehidupan sekuler hari ini. Materialisme menjadi standar dan dipuja sedemikian rupa. Wajar jika guru yang berdarah-darah mencerdaskan bangsa kalah jauh penghargaannya dibanding pekerja ‘seni’ yang tak mendidik dan minus intelektualitas.