LAPORAN KHUSUS

Warga Pakistan Masik Konsisten Boikot Produk Afiliasi Israel

Banyak organisasi, termasuk Asosiasi Pengacara Karachi dan klub media, juga mengikuti langkah ini, meskipun merek asing, terutama soda dan air, masih tersedia.

“Sebelum memesan (untuk upacara pernikahan), orang-orang dengan jelas menyampaikan; tidak ada minuman atau es krim merek asing,” kata Mohammad Kafeel, seorang katering berbasis di Karachi, kepada Anadolu.

Beberapa bulan lalu, sebuah video viral di media sosial menunjukkan seorang pria muda mengenakan “keffiyeh,” syal bermotif hitam-putih yang merupakan simbol gerakan pembebasan Palestina, pada acara pertunangannya di Karachi.

Video-video lain menunjukkan warga Pakistan, termasuk perempuan dan anak-anak, membawa bendera Palestina dan secara rutin memprotes di restoran KFC dan McDonald’s di seluruh negeri.

Merek Lokal Mengisi Kekosongan

Boikot ini telah mendorong peluang bagi alternatif lokal, di mana beberapa merek berlomba-lomba mengisi kekosongan, dengan beberapa mengalami lonjakan penjualan yang mengejutkan.

Cola Next, merek soda lokal, telah menggantikan merek-merek minuman global dalam beberapa bulan terakhir dengan lonjakan penjualan yang “berlipat ganda,” menurut juru bicara yang menolak memberikan angka pasti.

Kababjis, sebuah jaringan makanan cepat saji lokal, adalah contoh lain dari bisnis yang berkembang pesat akibat boikot ini. Jaringan ini memperkenalkan mereknya sendiri, KFC atau Kababjis Fried Chicken, yang memberikan pukulan keras terhadap penjualan KFC asli, yang mengoperasikan 128 restoran di 37 kota di Pakistan.

Masalah Kualitas

Memanfaatkan boikot ini, perusahaan-perusahaan lokal memang secara signifikan meningkatkan penjualan dan keuntungan mereka, namun banyak yang gagal bersaing dengan produk asing dalam hal kualitas dan strategi pasar yang berkelanjutan.

Pada bulan September, mereka yang setuju dengan boikot mencapai 68 persen, sedikit lebih tinggi dari 65 persen yang tercatat pada bulan April, menurut Kashif Hafeez, kepala Pulse Consultant, lembaga pemikir yang berbasis di Karachi yang telah memantau kampanye boikot ini sejak Oktober tahun lalu.

Dibandingkan dengan gelombang pertama pemantauan pada November 2023, terjadi penurunan tajam hampir 15 persen — dari 85 persen menjadi 70 persen.

“Setelah Ramadan, kami mengamati peningkatan signifikan sebesar 16 persen dalam jumlah yang setuju untuk boikot (dari 68 persen pada Desember 2023 menjadi 84 persen pada April 2024),” tambah Hafeez.

Namun, pada gelombang September, dampak praktisnya turun 10 persen, dari 84 persen menjadi 74 persen.

Sentimen boikot lebih kuat tertanam pada anak-anak dan kelas sosial-ekonomi atas, tambahnya.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button