NUIM HIDAYAT

Waspada, Nadiem Makarim akan Ubah UU Sisdiknas

Thamrin Amal Tamagola, Sosiolog UI, malahan menentang RUU Sisdiknas yang dianggapnya terlalu menekankan aspek moralitas. “Yang sangat menonjol dalam penekanannya justru masalah ibadah kepada Tuhan dan moralitas. Padahal masalah yang harus dikembangkan adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang mengarah kepada kepedulian kemanusiaan yang harus diberikan kepada anak didik,” kata Thamrin.

Sedangkan Frans Magnis melihat bahwa dalam RUU ini pemerintah terlalu banyak mencampuri urusan agama masyarakat. Menurutnya setiap orang berhak mendapatkan pendidikan agama, tetapi negara tidak bisa mewajibkan mewajibkan hal ini. Untuk sekolah swasta, kata Magnis, seharusnya tidak ada tekanan kepada orang tua untuk mengikuti pendidikan agama. Sebaliknya sekolah swasta mempunyai hak untuk memilih guru yang tepat bagi sekolahnya dan tidak boleh diangkat pemerintah.

Ancaman untuk disintegrasi dari Indonesia –seperti dilakukan oleh Timtim dulu dan GAM- lebih nyata diungkap oleh Ketua Komisi E DPRD Papua, Hulda Wanggober. Ia mengancam Papua akan pisah kalau RUU disahkan. “Kalau memang pemerintah pusat membuat hal seperti itu dan memaksakan kehendaknya, maka itu berarti menyuruh kita untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau mau pisah ngomonglah baik-baik, bilang Papua sampai di sini negara kita, silakan mengatur dan berjalan sendiri-sendiri,” tegas anggota DPR Fraksi Golkar ini.

Tabloid ini juga mencurigai adanya peranan ICMI dalam pengesahan UU Sisdiknas itu. Mengutip pendapat Wakil Sekjen PKB, Hermawi F Taslim, Warta Kristiani menyatakan, ”Ngototnya pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar yang juga pentolan ICMI, merasa berkepentingan terhadap pengesahan RUU tersebut.”

Selain melakukan penggalangan opini, kelompok Kristen Katolik juga melakukan penggalangan demo besar-besaran di daerah-daerah dan di sekolah-sekolah Kristen. Di DPR, wakil-wakil Kristen di daerah-daerah seperti Papua dan Sulawesi Utara, bergantian mendatangi DPR Pusat mengancam disintegrasi bila RUU itu disahkan.

Meski RUU itu belum sepenuhnya menyuarakan aspirasi umat Islam, kelompok Kristen telah berusaha mati-matian melakukan penentangan, termasuk dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam Rapat Paripurna DPR 10 Juni 2003 lalu, lewat FPDIP, kelompok Kristen melakukan pemboikotan jalannya sidang sehingga siding harus diskors dua kali untuk memenuhi angka kuorum.

Tapi ketika jumlah anggota DPR mencapai angka kuorum –bisa saat itu juga secara aklamasi RUU disahkan- FPDIP secara licik mengutus Panda Nababan dan Roy BB Janis untuk melakukan lobi menunda RUU itu. FPDIP minta disahkan tanggal 17 Juni, dengan alasan sosialisasi harus dilakukan lebih dulu ke masyarakat, beberapa fraksi menyetujui. Kehadiran FPDIP dalam lobi ini cukup aneh, karena tidak ada satu orang pun dari FPDIP yang membubuhkan tanda tangan kehadiran dalam siding itu.

Ketika dibawa ke Sidang Paripurna, ‘fraksi-fraksi Islam’ menolak usulan FPDIP itu. Menurut Hamdan Zoelva, bila substansi RUU sudah disetujui, maka dalam waktu 24 jam RUU itu harus disahkan. Terjadi lagi lobi berulang-ulang. FPDIP tetap ngotot minta tanggal 17 Juni. Akhirnya lewat debat yang panjang diputuskan Rapat Paripurna ditunda tanggal 11 Juni 2003. Kemudian akhirnya RUU itu disahkan, tanpa kehadiran satu orang pun dari FPDIP.”

Beberapa pasal yang dimasalahkan mereka adalah:

Pasal 1 ayat 5 yang berisi, ”Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan perubahannya, yang bersumber pada ajaran agama, keanekaragaman budaya Indonesia, serta tanggap terhadap perubahan zaman.”

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button