Waspada! Political Traping Pra-Kampanye
Pilpres masih medio Februari 2024, tapi genderang perang di lingkaran border time electoral, boleh disebut sebagai masa pra-kampanye, ternyata sudah dimulai.
Tapi nggak apalah seperti itu, agar publik lebih siap dan terbiasa, siapa tahu ketika masa kampanye yang sudah dibuat timeline-nya oleh KPU selama 75 hari, justru akan dipenuhi intrik-intrik politik yang jauh lebih seram dan mencengangkan dari pada sekadar “political traping” atau jebakan perangkap politik yang tengah bisa kita saksikan pada akhir-akhir ini peristiwanya.
Kontrasnya, justru jebakan atau perangkap politik itu sengaja dibuat untuk menyerang atau menjatuhkan sang calon yang sudah digadang-gadang oleh banyak partisipasi publik dikarenakan real berprestasi, honest tanpa pencitraan atau rekayasa, dan wise karena sering di-bully dan dicaci maki karena hal yang tidak sesuai fakta.
Yang paling clean ketika meraih jabatan Gubernur DKI tanpa sokongan oligarki. Yang paling clear, karena kinerjanya terbukti banyak meraih penghargaan dari lembaga kompeten dunia internasional.
Bayangkan! Membangun Jakarta berkemajuan tengah menuju kota super megapolitan modern, tetapi masih bersimbiosis mutual, bersentuhan dengan cita dan rasa kesetaraan dan keadilan bagi warganya.
Itulah tokoh mumpuni dan sejatinya yang paling layak dan pantas —bahkan sudah diharapkan banyak oleh rakyat, kelak di Plipres 2024 menjadi Presiden: Anies Baswedan.
Tapi apa yang dialami Anies sepekan terakhir ini, adalah di luar nalar terjadi peristiwa keterjebakan politik kepalsuan. Bisanya orang merekayasa dukungan Anies Presiden dengan membuat FPI palsu melakukan demo jadi-jadian di bundaran Patung Kuda. Tetapi, tujuannya sesungguhnya untuk merusak citra Anies bahwa pendukungnya adalah orang-orang terfaksi politik identitas Islam yang intoleran dan radikal.
Berselang beberapa hari kemudian, seperti serial semakin tampak jelas direkayasa, sekumpulan orang yang disebut Majelis Sang Presiden yang melakukan dukungan dengan penyelenggaran deklarasi Anies Presiden di tempat yang terhitung mewah, Bidakara Convention Hall, seolah resmi, formal dan representasi.
Padahal, sesungguhnya dukungan itu palsu, dengan membuat drama yang di tengah-tengah penyelenggaraan terjadinya kericuhan lantaran ada pemasangan bendera tauhid, yang sering diasosiasikan sebagai lambang organisasi terlarang HTI.
Tujuan yang dikedepankan dari penyelenggaran drama deklarasi itu, adalah jelas sekali lagi membentuk persepsi publik memunculkan premis bahwa yang mendukung Anies, adalah orang-orang eks HTI, eks FPI dan eks narapidana teroris. Ujung-ujungnya sama target sasarannya men-stigmatisasi pendukungnya dari komunitas Islam yang intoleran, radikal dan premis terorisme.
Tapi sebaliknya, Ganjar Pranowo yang rasa-rasanya biasa saja memimpin provinsi Jawa Tengah, malah dianggap kurang berprestasi, faktualnya justru provinsi ini kemudian masuk kategori provinsi-provinsi termiskin di Indonesia, namun selalu dipersepsikan sebagai calon kandidat terkuat Presiden.