Yaqut: Antara Pendukung dan Pengecamnya

SK ini dianggap “bertentangan” dengan Pasal 64 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang menyebut kuota haji khusus maksimal 8%. Pansus DPR juga menyebut bahwa pembagian 50-50 dari tambahan kuota adalah kejanggalan dan tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
MAKI, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia yang dipimpin Boyamin Saiman, mengajukan beberapa tuduhan dan estimasi kerugian. Yakni MAKI menduga adanya pungutan liar (pungli) terhadap calon jamaah haji khusus sebesar US$5.000 (sekitar Rp75 juta) per orang dari kuota tambahan. Jika jumlah jamaah haji khusus tambahan yang dipakai (setelah dikurangi untuk petugas) sebanyak 9.222 orang, maka total dugaan kerugian negara bisa mencapai ± Rp691 miliar.
Ada kemungkinan kerugian lebih besar (hingga hampir Rp1 triliun) jika seluruh potensi diselewengkan, termasuk markup biaya katering/penginapan dan poin lain selain kuota.
MAKI juga menyoroti bahwa SK Menag tersebut hanya Surat Keputusan, tidak berupa Peraturan Menteri yang harus ditayangkan di lembaran negara dan perlu persetujuan Menteri Hukum dan HAM. MAKI juga menyebut adanya kemungkinan penyusunan SK oleh sejumlah pihak dalam Kemenag dengan proses yang tergesa-gesa.
Selain itu, MAKI menduga bahwa Yaqut menerima honorarium sebagai pengawas haji (sekitar Rp7 juta/hari) selama pelaksanaan haji 2024, dengan dasar surat tugas dari Inspektorat Jenderal Kemenag. Ini dianggap janggal oleh MAKI sebab pengawasan harusnya oleh aparat pengawas bebas, tidak oleh pejabat seperti menteri.
Melihat kasus Yaqut ini, tokoh senior NU, KH Marzuki Mustamar menyatakan, ”Kalau KPK jadzab (tegas) terus siapapun yang salah diangkut, angkut saja. Siapapun yang salah angkut saja.” Ia melanjutkan,“Aku ingin NU besar lagi, makanya yang mengisi (PBNU) harus bersih, kredibel, kapasitasnya OK.” Menurutnya, dugaan keterlibatan (oknum) PBNU dalam kasus korupsi kuota tambahan haji serta indikasi penyusupan zionisme Israel melalui AKN NU telah meruntuhkan wibawa organisasi.
Kasus Yaqut soal kuota haji 2024 ini menjadikan netizen di medsos banyak mengungkap kembali pernyataan-pernyataan kontroversial lamanya. Seperti:
“Kementerian Agama ini hadiah dari negara untuk Nahdlatul Ulama. Jadi sudah seharusnya NU memanfaatkannya sebaik mungkin.”
“Kemerdekaan Indonesia bukan hanya diperjuangkan oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat agama lain di negeri ini.”
“Saya ini Menteri Agama, bukan Menteri Agama Islam. Jadi tugas saya melayani semua agama di Indonesia.”
Penulis sendiri, pernah diadili ‘kelompok-kelompok pendukung Yaqut’ di Depok, gara-gara penulis membuat artikel ‘Istighfarlah Yaqut’ (baca: Istighfarlah Yaqut!).
Waktu itu sekitar 15 orang yang terdiri dari pimpinan MUI Depok, Banser Depok, NU Depok, Kemenag Depok, mengadili penulis di Gedung MUI Depok dan mendesak penulis minta maaf atas tulisan itu. Penulis diancam, bila menolak minta maaf akan dilaporkan polisi. Alhamdulillah penulis bertahan dan menolak minta maaf. (baca: Ketika Saya ‘Diadili’).
Walhasil, kini pendukung dan pengecam Yaqut terus berantem di medsos. Entah kapan selesainya. Mungkin setelah KPK menetapkan tersangka atau membebaskan Yaqut dari sangkaan korupsi kuota haji ini, pertengkaran itu mereda.
Pertengkaran dalam media sosial itu sebenarnya perlu kita syukuri. Dengan adanya saluran benturan pemikiran atau pendapat ini justru akan mengurangi atau meminimalisir benturan fisik. Itulah ‘kelebihan demokrasi’. Dan masalah Yaqut terlibat korupsi atau tidak, biarlah KPK secara obyektif nanti yang menetapkan. Becik ketitik, olo ketoro. Yang benar akan ketahuan, yang buruk akan kelihatan. Wallahu alimun hakim. []
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.