Yuk, Kita Shalat Tarawih dengan Tumakninah

Kondisi demikian shalat tarawih akhirnya tidak dilaksanakan sampai Rasulullah wafat hingga periode Khalifah Abu Bakar dan awal pereode khalifah Umar bin Khathab. Dan akhirnya, khalifah Umar bin Khathab melihat para shahabat shalat malam sendiri-sendiri, dan ada kelompok kecil shalat berjamaah di masjid.
Maka beliau punya pemikiran “bahwa seandainya saya kumpulkan mereka itu dan shalat tarawih secara jamaah atas imam tunggal, alias tidak terpencar-pencar adalah lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri alias ‘munfarid'”.
Maka Khalifah Umarpun menunjuk Ubay bin Ka’ab, sahabat yang hafidz Al-quran untuk menjadi imam shalat. Dan malam-malam selanjutnya shalat tarawih dilaksanakan secara berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab.
Dalam hadis tersebut shalat malam atau shalat tarawih tidak disebutkan jumlah rakaatnya. Namun dalam sumber yang lain disebutkan bahwa untuk menghidup-hidupkan malam Ramadhan maka shalat tarawih dilaksanakan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat. Dan hingga kini sebagian besar umat Islam melaksanakan tarawih dan witir 23 rakaat.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i menerangkan dalam kitab An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 3, halaman 527:
مَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ غَيْرِ الْوِتْرِ
“Mazhab kami (madzhab Asy-Syafi’i) bahwa shalat tarawih itu dua puluh rakaat dengan sepuluh salaman selain witir”.
Shalat tarawih dengan jumlah 20 rakaat ini kemudian menjadi tradisi yang berlanjut hingga sekarang di banyak masjid-masjid di seluruh dunia. Namun, ada juga sebagian umat Islam yang tetap mengikuti sunnah Nabi Saw dengan mengerjakan 8 rakaat saja, sebagaimana disebutkan dalam hadis :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً … [رواه البخاري ومسلم] .
Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu’) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat … [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Kedua pendapat ini sama-sama memiliki dalil dan argumentasi yang kuat dari sumber-sumber syar’i. Yang terpenting adalah kita tidak saling mencela atau merendahkan pendapat yang berbeda dari kita.
Kita harus menghormati perbedaan dalam masalah-masalah furu’iyyah (cabang) seperti ini. Kita harus bersatu dalam hal-hal ushul (pokok) seperti tauhid, risalah, dan akhirat. Kita harus menjaga ukhuwah Islamiyah dan saling mendoakan kebaikan.
Tetap Wajib Tumakninah!
Ada hal yang perlu mendapat perhatian bagi umat Islam yang melaksanakan shalat tarawih dan witir adalah jangan sampai dalam melaksanakan shalat terburu-buru, alias tidak tumakninah. Apapun shalatnya baik shalat fardhu maupun sunnah, salah satu rukunnya adalah tumakninah, diam sebentar antara dua gerakan.