SUARA PEMBACA

100 Hari, Pemerintahan Jokowi-Makruf ‘Berhasil’

Genap 100 hari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf meninggalkan kesan dan pesan pada publik. Ada yang mengatakan Jokowi telah melakukan pencapaian yang tidak dilakukan Presiden sebelumnya, diantaranya kesuksesannya membangun infrastruktur, membentuk iklim investasi yang baik, hingga efisiensi birokrasi. Regulasi dibuat mudah, tidak ribet, dan simpel.

Sementara itu, tak jarang pula publik menyoroti berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang kontroversi. Dari jatah kursi menteri yang banyak didominasi pimpinan partai pendukung, rival yang merapat, hingga kenaikan berbagai tarif yang cukup membebani rakyat.

Pemerintahan Jokowi dibuka dengan masuknya nama Prabowo Subianto di lingkaran pemerintahan. Hal ini sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan. Sebab, lumrah bagi partai politik memutar kemudinya. Pagi boleh jadi saingan, sore harinya bisa jadi berpelukan. Itulah yang terjadi pada PDIP dan Gerindra. Pertemuan Lebak Bulus menjadi tanda awal hilangnya panas dingin pilpres. Pertemuan keduanya bahkan dianggap bisa menurunkan tensi persaingan antar pendukung. Nyatanya, polarisasi kedua kubu justru makin santer pasca Gerindra melepas status oposisinya. Di akar rumput riak perseteruan itu masih berlangsung.

Dilantiknya 16 menteri dari partai politik serta menteri tak terduga menyertai catatan 100 hari pemerintahan Jokowi. Dari menteri agama berlatar militer hingga menteri pendidikan berlatar pengusaha. Karena menteri adalah representasi kerja pemerintah, maka juga perlu mengevaluasi kinerja para menteri selama 100 hari. Pertama, Menteri Agama. Kementerian ini dianggap paling membuat kegaduhan di kalangan umat Islam. Mulai isu tangkal radikalisme, polemik cadar dan celana cingkrang di lembaga pemerintah, penghapusan materi jihad dan khilafah di pelajaran fikih, pendaftaran dan pendataan majelis taklim hingga wacana mengatur khutbah bagi penceramah. Semua isu ini muncul sejak Fachrul Razi menjabat sebagai Menteri Agama.

Kedua, terkuaknya kerugian lembaga plat merah. Dalam hal ini BUMN banyak diperbincangkan pasca dugaan korupsi dan kerugiankerugian yang menimpa Jiwasraya dan PT Asabri. Dua perusahaan asuransi negara itu kini tengah sakit parah. Gagal bayar dan korupsi menjadi rapor merah bagi BUMN. Kerugiannya bahkan mencapai lebih dari 10 triliun. Sungguh ujian sekaligus pembuktian penunjukan Erick Thohir sebagai Bapak Menteri.

Ketiga, Revisi UU KPK. Ketok palu UU KPK yang direvisi menjadi titik kritik paling kritis di 100 pemerintahan Jokowi. UU ini pun teruji dengan kasus suap yang melibatkan eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan politisi PDIP, Harun Masiku yang keberadaannya bagai hilang ditelan bumi. Revisi UU KPK juga menjadi uji nyali keberanian KPK dalam menjawab keraguan publik tentang independensi KPK.

Keempat, kebijakan yang membebani. Awal tahun 2020 merupakan kado pahit pemerintahan Jokowi-Makruf untuk rakyat. Bukannya antusias menaikkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, pemerintahan Jokowi malah membuat berbagai kebijakan yang membebani. Diantaranya, kenaikan tarif tol dan listrik, pencabutan subsidi LPG 3 kg, kenaikan tarif BPJS, penghapusan tenaga honorer oleh MenPAN-RB, serta beberapa RUU Omnibus Law yang dianggap merugikan para buruh dan banyak mengabaikan kepentingan rakyat.

Dari keempat hal tersebut, keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam hal pembangunan infrastruktur boleh saja menjadi kebanggan yang dipuja puji sejauh ini. Namun, satu keberhasilan itu membawa dampak yang luar biasa bagi negara. Utang makin membumbung, ketergantungan kepada asing makin tinggi, dan keseimbangan alam yang kurang diperhatikan. Regulasi yang dipermudah bukankah akan memberi peluang bagi asing mudah menguasai aset yang diinginkan? Seakan-akan negeri ini sedang bergumam, “Silakan Anda berinvestasi, kami tidak keberatan, meski rakyat yang menjadi korban selama kami mendapat keuntungan.” Alhasil, negara hanya berperan sebagai produsen sementara rakyat sebagai konsumen. Sedikit-dikit tarik pajak, sebentar-bentar cabut subsidi.

100 hari pemerintahan Jokowi-Makruf haruslah ditakar dari sudut pandang rakyat. Karena sejatinya rakyatlah yang merasakan dampak dari kebijakan pemerintah. Kalau menakar keberhasilan dari sudut pandang pemerintah, ya pasti tidak ada yang salah. Semua demi rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan kembali pada rakyat. So sweet benar. Tapi begitulah, manis di bibir, pahit dalam kebijakan. Pernahkan pemerintah bertanya sebelum membuat keputusan untuk rakyat? Apakah rakyat keberatan? Apakah mereka sejahtera? Jangankan bertanya, didemo saja sudah kepanasan. Ogah dikritik, tersenyum bila dipuji.

Memang benar, pemerintahan Jokowi telah berhasil. Ya, berhasil membuat beban hidup rakyat kian berat. Berhasil dalam berbuat zalim. Hanya itu keberhasilan Anda. Selebihnya gagal. Gagal menyejahterakan, gagal mandiri, gagal bebas utang, gagal memenuhi janji, dan gagal memimpin negeri. Maaf Pak, di bawah asuhan kapitalisme, Anda pasti gagal mengelola negara. Di lingkaran sekularisme, Anda juga dipastikan gagal menjadi pemimpin beriman dan amanah. Sebab, kedua sistem itulah yang membentuk manusia-manusia serakah dan tak punya hati. Masih bilang kapitalis-sekuler bukan biangnya? Silakan bercermin pada diri dan tanyakan pada hati sejauh mana keimanan dan ketaatan Anda di hadapan Rabbul Izzati.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button